KS - 16

218 85 181
                                    

"Rasa tak dihargai, ucapan yang menyakitkan, seakan mengoyakkan asa untuk berjuang. Lalu, untuk apa aku hidup?"

·Arsa Bramanty·

••
Pertandingan bola basket yang digelar Sabtu besok di stadion yang disepakati kedua belah pihak, yakni SMA Pamungkas dan SMA Merah Putih.

Jum'at, 17.50 WIB (sehari sebelum hari-h)

Arsa dan Berliana kini berada di ruang tamu rumah mengobrol, lebih tepatnya Berliana mendengarkan semua percakapan putranya yang sangat antusias dengan apa yang coba dilakukannya.

"Bun, Arsa dibolehin ikut tanding basket kali ini. Arsa nggak nyangka Arsa diutus sama kak Bimo buat menjadi perwakilan sekolah besok, mengharumkan nama sekolah kita, Bun," Arsa tersenyum lebar mengucapkan dengan nada antusias, Berliana hanya bisa tersenyum dan mengelus rambut Arsa yang terlihat menggemaskan jika dia tampak kesenangan.

Sebagai orang tua, Berliana harus mendukung apa yang anak inginkan. Men-support apapun yang mereka kerjaan selagi tidak melenceng ke mana-mana. Memang, dari dulu Arsa sangat menyukai basket. Sampai-sampai seharian penuh dia hanya bermain basket ketimbang bermain gadget seperti anak sepantarannya.

Dulu, sebelum mengenal basket dan papanya terus-menerus mengajaknya menjadi orang seperti Arkan, Arsa merasa dipaksa, merasa apa yang ia lakukan tidak menyenangkan bahkan membuatnya muak. Namun, ketika mengenal basket Arsa meyakinkan diri bahwa hidup yang kita jalani itu indah. Semua yang kita lakukan rasanya menyenangkan. Entahlah, baginya basket adalah separuh dari hidupnya.

Namun, setiap hal yang ingin dicapai, pasti ada pro dan kontra dari kedua belah pihak. Arkan, papa Arsa, menentang semua kemauan Arsa untuk mengikuti atau mendalami ilmu basket. Dia merasa itu tidak berguna dan membuang-buang waktu karena pada akhirnya anaknya akan menjadi pengusaha seperti dirinya. Arkan bersikeras membujuk Arsa agar menjauhi diri dari basket. Namun, namanya Arsa jika dia ditentang maka akan dia lakukan lebih.

Jelas, dengan bantahan spontan dari anak bungsunya itu membuat nya marah dan merasa tidak berhasil mendidik anak. Dia hanya ingin Arsa mengikuti kemauannya menjadikan Arsa sebagai penerus dirinya.

Arkan yang kebetulan melewati dan mendengarkan percakapan ibu-anak itu ikut menimpali.

"Alah, apa yang harus dibanggakan? Main basket? Semua orang bisa. Seharusnya kamu ikuti jejak papa, belajar tentang bisnis. Percuma menentang kalau pada akhirnya kamu akan jadi penerus papa. Menghandle semua perusahaan yang akan papa kasih ke kamu. Lebih baik kamu gak usah ikut basket lagi, gak penting. Gak ada hasil yang memungkinkan yang kamu peroleh dari basket. Lebih baik kamu mulai belajar bisnis. Belajar menjadi pengusaha, biar papa gampang nyuruh kamu menghandle perusahaan yang papa perintahkan."

Arsa mendengus kesal mencoba menulikan pendengaran. Membiarkan semua yang terucap dari mulut sang papa sebagai bualan semata.

Arsa mencoba memutar otak mengalihkan perhatian terhadap satu sisi. Satu tema yang awalnya menjadi topik pembicaraan bersama sang ibu, bola basket.

"Jadi, bunda jangan lupa datang besok lihat Arsa tanding. Arsa pengen dengan Arsa ikut tanding kali ini, bisa membuat bunda bangga sama usaha Arsa menjadi tim basket sekolah." Berliana hanya mengangguk sebagai jawabannya.

KARA |Serendipity|Where stories live. Discover now