KS - 15

220 89 207
                                    

"Biarkan waktu mencoba meredakan emosi yang meletup. Biarkan semua yang terjadi meluap untuk sementara waktu. Karena gue, hanya butuh waktu."

· Arsa Bramanty ·

••

21:27 PM

Arsa berdiri, berpamitan pada teman-temannya. Berjalan menuju motor yang terparkir rapi di depan warung harian.

"Cepat banget pulangnya, Sa? Nyebat dulu bentar lah sebelum pulang," ajak Andra mengacungi sebungkus rokok, pria itu duduk tepat di depan warung. Andra salah satu teman Arsa berbeda sekolah. Selalu memakai baju berantakan dan merokok di sini sebagai tempat pelampiasan.

Arsa menoleh, tersenyum simpul. "Untuk sekarang nggak dulu, bro!"

"Kenapa? Takut ketahuan sama bokap lo?" tanya Andra. Arsa hanya diam.

"Gue nggak mau nyokap sakit, tau gue yang pulang habis nyebat."

"Dan si nakal ternyata sayang banget sama nyokapnya ...," ucap Andra bercanda. Arsa terkekeh. "Ya udah, sono lo cabut."

Arsa mengangguk, menaiki dan menyalakan mesin motor. Membawa motor dengan kecepatan sedang, menembus keramaian kota.

"Kasian banget si Arsa ye. Sebenarnya nggak mau jadi nakal, cuma bokap si Arsa aja yang banyak maunya. Ck! Kek cewek!" seru Andra menatap motor Arsa yang menjauh. Teman yang duduk di sebelahnya mengangguk mengiyakan. "Tapi dia termasuk beruntung sih, punya nyokap yang sayang banget sama dia ...."

Arsa telah mencapai tujuannya setelah beberapa menit perjalanan yang membuat tangannya terasa kaku.

Memarkirkan sepeda motor di garasi dan memasuki rumah. Dari kejauhan, seorang pria paruh baya terlihat asyik menatap koran yang dipegangnya dengan kacamatanya bertengger di pangkal hidung dan seorang ibu rumah tangga yang sibuk mondar-mandir membaca do'a dengan raut cemas.

Mendengar suara pintu dibuka, Berliana menatap Arsa dengan mata cemas, langsung mendekati putra bungsunya.

"Kamu dari mana aja Arsa? Kamu mau bikin bunda jantungan karena dari sore kamu belum pulang dan kabarin orang rumah?" Arsa menunduk memandang Berliana dengan senyuman simpul.

"Arsa baru balik dari tempat tongkrongan, Bun." Berliana hanya tersenyum, mengelus bahu putranya.

"Lain kali, kalau Arsa udah ada niatan main sama teman sebelum pulang, kabarin orang rumah dulu agar bunda nggak pusing kayak gini karena kamu belum pulang juga." Arsa mengangguk.

"Iya, Bun. Arsa capek, Arsa ke atas dulu, ya," Berliana hanya mengangguk sebagai jawaban, Arsa pun berlalu pergi menuju tangga.

"Anak kurang ajar." Suara itu mampu menghentikan langkah kaki Arsa dan terdiam di tempatnya berdiri. Arsa menoleh untuk melihat Arkan, papa Arsa, berdiri dan mendekatinya setelah meletakkan koran yang dia pegang di atas meja.

"Dari mana kamu?" Arsa menghela napas panjang. Memandang Arkan dengan ragu.

"Arsa habis pulang dari tempat tongkrongan, Pa," ucap Arsa dengan enteng, tak luput rasa takut menyelimuti sebagian hatinya.

Arkan memandang Arsa garang dengan mata yang sedikit memerah menahan emosi. "Kamu ... seenaknya pulang sekolah udah malam tanpa meminta izin dan membuat mama kamu khawatir! kamu kira kamu hebat pulang malam seperti ini?! Papa pusing sama kelakuan kamu Arsa! Dasar anak tak tahu sopan santun!"

"Arsa pulang malam pun emang ngaruh sama pekerjaan papa? Yang ada di pikiran papa cuma pekerjaan dan Chandra, kan? Bukannya papa gak peduli sama Arsa?" balas Arsa dengan nada sindiran.

KARA |Serendipity|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang