17. Grave.

630 141 18
                                    

Unjuk rasa itu berjalan lancar, hingga siang hari semua masih terkendali. Peserta unjuk rasa diperkirakan sebanyak enam ratus orang, mereka dibagi menjadi dua kelompok. Sebagian melakukan aspirasi di depan kantor pusat tempat mereka bekerja, sebagian lagi menuju gedung pemerintahan.

Fahira berada di kelompok dua yang menuju gedung pemerintahan, karena tujuannya mengikuti demo ini telah berubah sejak Dania mati. Fahira dan beberapa orang memutuskan untuk beristirahat sejenak, mereka akan menyusul jika letih telah hilang.

"Minum dulu." Fahira menyerahkan sebotol air pada seorang partisipan, wajah orang itu mulai pucat dan terlihat lemas.

"Terima kasih." Ucapnya setelah meneguk air beberapa kali. "Kepalaku sakit." Wanita berkulit hitam itu meringis kesakitan. Padahal dia tidak pernah seperti ini, fisiknya termasuk kuat jadi tidak mungkin jatuh hanya karena sinar matahari yang terik.

"Kamu mau makan atau butuh sesuatu?" Fahira bertanya.

"Tidak, tapi terima kasih. Aku Anita." Anita memperkenalkan diri.

"Aku Fahira. Apa kamu dari pabrik yang ada di timur?"

"Benar, aku dan lima puluh orang yang lain berasal dari timur. Kami ingin pemerintah segera bertindak, pada penyerangan yang akhir-akhir ini semakin sering terjadi. Bahkan mulai menimbulkan korban jiwa." ucap Anita muram.

"Apa di timur penyerangan juga terjadi?"

Anita mengangguk. "Kakakku menjadi korban pertama." Suaranya semakin muram.

"Salah satu temanku juga menjadi korban, dia juga berasal dari timur. Apa di daerah lain penyerangan itu juga terjadi?" Fahira mulai berpikir serius.

"Aku rasa iya. Kamu bisa melihatnya sendiri, demo ini bukan hanya melibatkan para buruh." Anita melihat orang-orang yang berada di sekeliling mereka. Para buruh memiliki perjanjian, bahwa mereka akan menggunakan pakaian hitam sebagai tanda. Sedangkan orang-orang itu, mereka tidak menggunakannya. Fahira pun baru menyadari hal ini.

Kenapa dia tidak mengetahui ini, bukankah seharusnya hanya para buruh yang turun ke jalan.

"Kamu bisa berdiri?"

"Ya, sepertinya." Anita berusaha, tapi pandangannya justru berubah buram.

"Anita!" Fahira menopang tubuhnya yang nyaris ambruk. "Anita?" tapi bukan jawaban yang Fahira terima, tetapi genggaman sangat erat di lengannya. Menyakiti Fahira hingga lengannya terkoyak.

***

Yuki tersentak saat mendengar suara bel istirahat. Tak terasa, dia sudah menghabiskan waktu selama dua jam untuk melamun. Yuki memandang buku pelajarannya yang kosong, membiarkan orang-orang meninggalkannya sendirian di dalam kelas.

"Kamu nggak keluar?"

Yuki mengangkat wajahnya, mendapati Banyu berdiri di depan mejanya. "Aku masih mau di sini." Ucapnya dengan senyum kaku.

Banyu menarik kursi terdekat, duduk di depan Yuki. "Ada masalah? Apa Sinta dan teman-temannya ganggu kamu lagi?" rentetan pertanyaan dari Banyu membuat Yuki kalang kabut.

"Nggak ada masalah sama sekali. Sinta juga nggak pernah ganggu aku."

"Oh ya, kamu yakin." Banyu memberinya tatapan penuh arti, seisi sekolah ini tahu apa yang sering terjadi pada Yuki. Tapi semua orang memilih menutup mata. Bahkan para guru bertingkah seakan tak terjadi apa pun setelah kejadian malam itu.

Yuki menundukan kepalanya, memainkan jarinya dengan gelisah. "Itu bukan apa-apa." Ucapnya lirih. "Aku nggak mau bahas itu."

Banyu menghela napas panjang, menyesal karena telah membuat Yuki tertekan. "Maaf, aku nggak berniat buat kamu nggak nyaman." Banyu mengulurkan tangannya untuk menyentuh kepala Yuki, memberinya sedikit belaian.

RedMoon || AlphaSoulDove le storie prendono vita. Scoprilo ora