23. Pulang.

551 118 15
                                    

"Ayah mau pergi?"

Adjie menghentikan langkahnya menuruni tangga. Saat dia berbalik Banyu mendekat dengan tas di bahunya, sepertinya pemuda itu bersiap pergi ke sekolah.

"Iya, ayah mau pergi. Kamu mau ke sekolah kan, berangkat sekarang nanti kamu telat." Ucapnya.

"Aku boleh berangkat bareng ayah, kita searah. Ayah mau ke gedung pemerintahan kan."

"Hari ini kamu berangkat sama supir aja ya, Ayah nggak bisa mampir-mampir. Ayah berangkat dulu." setelah itu Adjie melanjutkan langkahnya, Banyu menatap kepergian Adjie hingga punggungnya tak lagi terlihat.

Banyu dibesarkan oleh orang tua tunggal. Ibunya meninggal sejak dia masih kecil, bahkan Banyu hampir tidak ingat seperti apa wajah wanita yang telah melahirkannya itu. Tapi Banyu juga hampir tidak ingat, bagaimana peran Adjie dalam hidupnya.

***

Dia sudah berdiri di depan pintu rumahnya sejak beberapa menit yang lalu. Kemarin Raphael tidak langsung pulang ke rumah, dia pergi ke apartemennya untuk mengatur pikiran. Dia menarik napasnya panjang untuk kesekian kalinya, baru setelah hatinya tenang Raphael membuka pintu rumahnya. Saat memasuki rumah Raphael berpapasan dengan Aurora.

"Akhirnya pulang juga." Ucapnya.

"Mama di mana?" tanya Raphael, wajahnya tanpa ekspresi.

"Ada di Paviliun. Sebaiknya Kakak siap-siap, kalau mau ketemu sama Mama."

Raphael mengangguk mengerti. "Kalau Papa?"

"Ada di ruangannya, hari ini Papa nggak ke gedung pemerintah."

Setelah mendengar hal itu, Raphael menuju ruangan ayahnya. Dia harus menyampaikan barang titipan Fahira. Martinez sedang membaca laporan terakhir tentang kerusuhan yang lalu. Situasi memang mulai membaik sekarang, berita-berita menyimpang pun sudah ditekan satu per satu. Publik yang sempat gempar juga mulai melupakan berita yang ada, meski masih ada yang menyinggungnya sesekali.

"Raphael, bagaimana kabar kamu?" Martinez melepas kacamata yang bertengger di hidung mancungnya. Martinez mendekati Raphael, memeluk anak lelakinya singkat.

"Aku baik. Bagaimana keadaan rumah?" tanya Raphael.

"Agak menegangkan, terlebih kamu tidak bisa dihubungi." ucap Martinez, senyumnya mengandung jengkel.

"Bunda Fahira memintaku memberikan Papa ini." Ucapnya, sekaligus mengalihkan pembicaraan. Raphael menyerahkan kantung merah itu pada Martinez.

"Apa ini?"

"Aku kurang tahu. Tapi Bunda Fahira bilang, itu benda yang seharusnya dia berikan sejak dulu. Barang peninggalan Ayah Yuki."

Wajah Martinez seketika berubah tegang. Raphael menyadari setiap perubahan wajah ayahnya, dia cukup penasaran sebenarnya apa hubungan Martinez dan kedua orang tua Yuki. Mereka seperti sudah saling mengenal sejak lama.

"Papa kenal orang tua Yuki sejak kapan?"

"Sejak sangat lama. Sebaiknya kamu temui Mama kamu, kalian perlu bicara serius. Papa sudah menceritakan sedikit mengenai Yuki, semoga Mama kamu mau mengerti." ucap Martinez menepuk bahu Raphael dua kali.

Secara tidak langsung itu adalah perintah, agar Raphael keluar dari ruangannya tanpa pertanyaan lagi. Raphael pun tidak ingin memaksa Martinez, jika ayahnya tidak ingin memberitahu Raphael akan mencari tahunya sendiri. Entah kenapa dia merasa jika semua ini ada hubungannya dengan Yuki, tentang siapa dia sebenarnya.

***

Raphael membuka pintu Paviliun dengan perlahan, ketika pintu terbuka aroma segar seketika tercium. Sejak beberapa tahun yang lalu Paviliun ini disulap oleh Ibunya menjadi tempat tanaman hiasnya tumbuh, atapnya dirubah menjadi kaca agar sinar matahari memberi nutrisi cukup untuk semua tanaman. Jendela-jendela besar dibiarkan terbuka agar kesegaran tanam tetap terjaga. Raphael berjalan di antara tanaman hias berdaun merah kehijauan, matanya berkeliling demi menemukan Cintya yang berdiri tengah melakukan cangkok pada tanaman palem.

RedMoon || AlphaSoulWhere stories live. Discover now