25. Jubah merah.

645 117 26
                                    

Yuki merasa tubuhnya sangat ringan, dia berbaring di atas permukaan yang sangat lembut. Mungkin begini rasanya tidur di atas awan, pikirnya. Karena terlalu nyaman rasanya tidak ingin beranjak dari tempat ini. Tapi sebuah suara terus membelai telinga Yuki, memintanya untuk beranjak dari tempat yang nyaman ini.

"Tolong, bangunlah."

Saat suara itu terus memohon, Yuki akhirnya membuka matanya. Seketika perasaan nyaman itu menghilang dari dirinya, digantikan dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Yuki memejamkan matanya yang baru terbuka sedikit, cahaya lampu terasa menusuk kornea matanya.

Yuki mendengar detik jam ketika memejamkan matanya, dan tercium aroma khas rumah sakit. Jadi sudah pasti dia berada dimana saat ini. Pertanyaannya, bagaimana bisa Yuki berada di sini? Yuki mengulang lagi ingatannya sebelum dia tak sadarkan diri. Dia berada di tanah perbatasan, lalu karena suatu alasan tak jelas Yuki memasuki gedung tua dan melihat sebuah ritual yang mengorbankan seorang wanita. Setelah itu, Yuki tidak ingat apa-apa lagi.

Ketika Yuki membuka matanya lagi, saat bersamaan pintu kamar mandi di ruangannya terbuka. Menampilkan sosok Raphael yang terlihat kusut dengan rambut berantakan dan wajah kurang tidur. Dia bahkan belum mengganti bajunya sejak dua hari yang lalu.

"Kamu belum mandi sejak kapan?"

Suara itu sangat mengejutkan Raphael, dia mengangkat wajahnya dengan mata melebar. Hanya butuh dua langkah lebar, Raphael meraih Yuki dalam pelukannya. Yuki bisa merasakan kelegaan Raphael yang besar, dengan tangannya yang lemah Yuki membalas pelukan Raphael. Rasanya Yuki sangat merindukan laki-laki bermata biru ini.

"Ini kedua kalinya." ucap Raphael tak merubah posisinya memeluk Yuki. Padahal Yuki hanya menderita di perutnya- yang untungnya tidak terlalu serius, tapi gadis itu menghabiskan waktu dua hari dengan tidak sadar.

"Aku, kenapa?"

Raphael melepaskan pelukan mereka. Alisnya menyatu heran sambil menatap Yuki. "Kamu nggak ingat kejadian sebelum kamu pingsan?" Katanya.

"Aku nggak yakin." Yuki mencoba mengingatnya, tapi yang teringat olehnya adalah saat dia bertengkar dengan Ibunya. Karena hal itu wajah Yuki murung seketika. Raphael menyadari perubahan raut wajahnya, dia meraih dagu Yuki membuat gadis itu menatapnya. Raphael menunduk hingga kedua bibir mereka menyatu. Hanya ciuman singkat, tapi berhasil mewarnai wajah pucat Yuki.

"Ibu kamu juga ada di sini, dia lagi bicara sama Papa. Biar aku panggilkan." Tapi tangan Raphael ditahan Yuki saat dia akan beranjak.

"Nggak perlu." Ucapnya datar. Hati Yuki masih belum siap bertemu dengan Ibunya.

"Sebenarnya apa yang terjadi?" Raphael bahkan hampir melupakan pertanyaan ini. Apa yang terjadi pada Yuki sampai dia berakhir di tempat itu, dan kenapa Yuki tidak ingin bertemu dengan ibunya sendiri. Padahal yang Raphael tahu Yuki amat menyayangi Fahira.

"Kemarin aku dengar cerita dari Bunda. Aku nggak tahu itu cerita bahagia atau bukan." Yuki memandang dengan mata kosong, Raphael tidak tahan melihat itu karenanya dia sekali lagi menunduk. Kali ini bukan sekadar kecupan kecil, Raphael melumat Yuki hingga napas mereka terkuras.

Saat Raphael melepaskannya, napas Yuki berantakan. Wajahnya yang putih dihiasi warna merah yang segar, jika tak bisa mengendalikan diri dengan baik mungkin Raphael sudah menerkamnya saat ini. Telinga Raphael yang tajam bisa mendengar langkah kaki Fahira dan ayahnya yang mendekat, dia lalu membagi jarak dengan Yuki meski tak rela.

Saat pintu kamar rawat Yuki terbuka, Fahira menghampiri anaknya dengan air mata berderai. Yuki masih linglung ketika Fahira mulai memeluknya sambil menangis. Yang bisa dia lakukan hanya membalas pelukan Fahira- Yuki bahkan melupakan keinginannya untuk tidak melihat Fahira dulu. Dasar lelaki itu.

RedMoon || AlphaSoulWhere stories live. Discover now