8. Angkara Hati

5.8K 835 25
                                    

"Setiap manusia mempunyai angkara dalam hatinya, namun tergantung masing-masing manusia bagaimana cara mengolah angkaranya sendiri."

***


Sejak kejadian di aula Fakultas Budaya, hubunganku dengan Salsa membaik. Mungkin memang benar, hanya persepsiku saja yang merasa bahwa Salsa menjauh padahal sebenarnya tidak.

Sedangkan hubunganku dengan Rendy, aku menyesal sudah mengatakan hal buruk kepadanya karena emosi sesaat. Aku harap Rendy tidak menanggapinya dengan serius. Aku harap Rendy tahu, kalau saat itu aku sedang emosi. Mas Adam benar, kala kita emosi sebaiknya diam dan menahannya, karena pada saat itu kita sedang dikompori setan. Sehingga apa yang keluar dari bibir kita adalah perkataan yang akan kita sesali setelah emosi itu hilang.

Aku terjingkat bangun dari tempat tidur, baru teringat besok konsul proposal penelitian. Aku melirik jam di dinding kamar, pukul sebelas malam. Belum jam dua belas, setidaknya aku harus menulis beberapa poin di bab dua dan merevisi sedikit di bab satu. Intinya, setidaknya ada bahan yang akan aku konsulkan. Aku malas disindiri mulu sama Bu Endah.

Aku menyikap selimut dan menurunkan kaki kiri, bersamaan dengan itu tangan melingkar di perutku.

"Mau ke mana?" tanya dengan suara serak khas bangun tidur.

"Ngerjain proposal, bentar," kataku sembari menarik tangan Mas Adam dari perutku.

"Nggak boleh." Mas Adam malah mengeratkan tangannya bahkan menarikku untuk kembali berbaring.

"Mas, besok aku konsul. Belum nulis sama sekali."

"Emang Bu Endah udah kembali dari luar kota?"

"Udah, besok masuk. Ayolah, Mas. Jangan ngebuat aku jadi bulan-bulanan penggemarmu tuh," sindirku.

Mas Adam menarik wajahnya dari bantal, menatapku dengan sedikit sinis, "Kamu bahas lagi soal itu, saya bakal bikin kamu nggak tidur semalaman."

Aku tersenyum, jail, kemudian mencubit pipinya, "Aku ngerjain proposal dulu bentar, terus aku bahas lagi gimana?"

Mas Adam memperlihatkan deretan giginya, tersenyum paham apa maksudku, "Ya udah, sana, jangan sampe lebih dari jam dua belas. Besok saya ada kelas pagi di kelasmu."

"Jangan pagi, dong, Mas. Sore aja, gimana?"

"Saya siang sampai sore jadi dosen tamu, besok ada materi persiapan ujian sebelum pratikum lapangan."

"Aku nggak masuk, ya, minta salinannya aja?"

Mas Adam langsung menutupi wajahnya dengan bantal, tidak menggubris permintaanku. Sama istri sendiri pelitnya minta ampun. Dia benar-benar tidak mau membuatku menjadi mahasiswa spesial hanya karena aku berstatus istrinya. Bener-bener salut sama pendiriannya.

"Pelit, cih!" cibirku sambil beranjak dari tempat tidur berjalanan kearah meja belajar. Aku mulai membuka laptop dan mengerjakan penelitian.

Subuh aku kuat-kuatkan untuk bangun setelah Mas Adam membangunkanku dengan percikan air bekas wudhunya ke wajahku. Mataku berat sekali, seperti ditarik timbel 1kg. Tadi malam aku mengerjakan proposal penelitian sampe jam dua pagi. Aku hanya mengerjakan materi awal BAB 2 dan selebihnya mengerjakan angket. Angket benar-benar menyiksaku, karena tidak ada contoh sama sekali aku harus mikir sendiri sampai frustasi. Rasanya baru saja terlelap, azan subuh sudah berkumandang.

"Mandi, gih, biar ngantuknya hilang."

"Maaass... aku bolos kelas pagi, ya. Alasanya sakit."

"Hush, kalo ngomong, hati-hati. Apa yang kita ucap bisa jadi doa, nanti kalau dikabulkan Allah gimana?"

[DSS 4] Diary SyabilWhere stories live. Discover now