2. Cemburu

26.9K 3.1K 183
                                    

"Jangan dengarkan omongan orang, kita hidup itu untuk diri kita sendiri, bukan untuk menjadi objek penilaian orang lain."

🌺🌺🌺

"Hahaha!" Aku tertawa terbahak-bahak saat melihat adegan sinetron di televisi. Dari tadi tak ada habisnya aku menyemburkan tawa karena melihat adegan sinetron tersebut.

Adegan tersebut sangat menggelikan. Bagaimana tidak, si tokoh jahat mematikan saluran infus dan si tokoh baik yang jadi pasien itu langsung kejang-kejang lalu meninggal. Geli sekaligus miris, ini benar-benar pembodohan publik.

Orang awam akan berpikir bahwa infus yang macet akan menyebabkan kematian pasien, padahal itu sama sekali tidak benar. Infus yang berupa cairan itu untuk menyalurkan obat yang diberikan langsung ke pembuluh darah, jika dilihat tadi di sinetron infus yang dipakai adalah cairan RL atau disebut Ringer Laktat dalam bahasa awam adalah cairan elektrolit.

Sama sekali tidak ada hubungannya dengan jantung. Kenapa tiba-tiba monitor vitalnya menujukkan garis lurus dan bunyi tut yang panjang?

"Ehem!"

Suara deheman Mas Adam menghentikan tawaku, aku yang semula sandaran di sofa itu langsung berdiri tegak menoleh ke arahnya.

"Jangan ketawa terlalu keras, nggak baik," tegurnya.

"Habisnya sinetron ini ngawur, masa infus di-stop pasien langsung meninggal? Kan, lucu, Mas."

Mas Adam berjalan mendekat kemudian duduk di samping kananku, harum aroma tubuhnya yang baru mandi itu merasuk ke rongga hidung membuatku langsung bergelayut padanya.

"Nggak lucu, yang ada itu miris. Daripada ketawa harusnya didoain semoga sutradara dan penulis skenarionya dapat hidayah buat memperbaiki adegan di sinetronnya."

Yah, si killer ini kalo di rumah berubah menjadi malaikat. Omongannya adem, sorot matanya teduh, bicaranya kalem. Tidak seperti di kampus, dia seperti orang lain. Perkataannya sering nyakitin meski hal tersebut menyangkut sesuatu yang positif. Tapi aku tetep nggak suka, aku suka dia yang seperti ini.

"Dibilangin malah ngeliatin, iya saya tahu saya ganteng."

"Cih, pede bener," cibirku tidak tahan dengan kepercayaandirinya yang overload. Tapi, memang dia ganteng, sih.

"Gimana proposal penelitiannya?"

"Jangan tanya deh!" Aku melepas tanganku dari lengannya, mengempaskan setengah badan di sanggahan sofa.

"Udah semester lima loh, Sayang. Bentar lagi kamu sibuk di lapangan. Nanti nggak sempet nyusun keburu tenggat, emangnya mau mengajukan proposalnya tahun depan?"

Aku melirik Mas Adam dengan kerucutan bibir sepanjang lima centi, "Ya nggaklah, Mas." Aku bangkit dari sandaran, "Masalahnya sepuluh judul penelitianku ditolak sama Bu Endah. Aku kan jadi males, manalagi punya suami yang punya gelar doktoral nggak mau bantu lagi," ucapku dengan bumbu sindiran.

Mas Adam terkekeh, "Bukannya nggak mau bantu, saya cuma...—,"

"Iya, iya, cuma mau gelarku nanti hasil jerih payahku sendiri, kan?" Potongku bisa menebak apa yang akan dikatakan Mas Adam, "Tapi, Mas...." Tanganku kembali menggelayut di lengannya, bernada merengek aku mengadu, "Bu Endah itu kayaknya sengaja deh nolak judulku mulu, mungkin dia masih nggak menerima kenyataan kalau aku istrinya Mas Adam."

"His! Ngomong apa, sih?"

"Dibilangin kok, katanya temen-temen Bu Endah itu suka sama Mas Adam sejak Mas Adam pindah ke kampus. Makanya, dia sensi mulu sama aku."

[DSS 4] Diary SyabilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang