3. RUMOR LANGITCACA

Start from the beginning
                                    

"Apa? Ketinggalan?" ujar Pak Ger. "Classic banget alasan kamu, sekarang kamu keluar dan berdiri di lapangan!" sambungnya langsung membentak. Tak ada toleran baginya. Muridnya begitu tidak menghargai.

"Pak," Matahari mengangkat tangannya. "Saya belum mengerjakan Pak," sambungnya, lalu tertunduk.

"Kalian berdua keluar sekarang!"

***

Sinar matahari menyenter dua perempuan yang sedang berdiri tegak dengan tangan hormat kepada Sang Saka Merah Putih. Tak ada yang bisa dilakukan keduanya selain menerima hukuman dari Pak Gerhana.

"Ca tangan gue capek," keluh Matahari kepada temannya. Namun, Matahari mendapati sorotan tajam darinya.

"Udah deh tahan Ri, ntar yang ada hukuman kita ditambah sama Pak Ger. Lo mau?" ujarnya lalu kembali memandang bendera.

Matahari manyun lesuh. Benar, tangannya terasa sangat sakit. Nekad. Satu kata yang tepat untuk keadaan Matahari saat ini. Ia memberanikan diri untuk menurunkan tangannya.

"Inget kata gue. Tahan!" tegas Caca setelah melihat gerak-gerik Matahari. Namun, sama sekali tidak Matahari hiraukan. Jika tidak, bisa-bisa ia tergelatak pinsan di tengah lapangan.

"Bum, bukannya itu Matahari?" Bintang mengarahkan telunjuknya pada kedua perempuan yang sedang hormat pada Bendera di siang bolong.

Bumi menengok sejenak. Benar, itu Matahari dan temannya. Tak menjawab pertanyaan dari Bintang, ia langsung lari menuju lapangan ketika pandangannya mendapati Matahari yang terlihat capek.

"Ehh,," suara Caca yang kaget ketika Matahari hendak terjatuh, namun tangan Bumi dengan sigap. menangkap badan mungil itu.

Pandangan Matahari tertutup. Ia pinsan. Bumi segera membawanya pada ruang UKS. Begitupun dengan Caca. Caca meninggalkan hukuman dari Pak Gerhana begitu saja, lalu mengikuti arah Bumi yang membawa Matahari.

"Ri bangun dong. Maafin gue, harusnya gue enggak maksa lo buat bertahan," Caca menggenggam tangan Matahari. Memohon, dengan harapan pandangannya kembali terbuka.

"Kalian kenapa?" Bumi yang sedang duduk di ujung sana bersuara. Di ruang UKS hanya ada mereka bertiga, para petugas UKS hari ini tidak ada yang bertugas. Entah, karena apa!

"Gue sama Matahari belum ngerjain tugas dari Pak Ger," terangnya masih menggenggam tangan Matahari. "Please, bangun Ri,", sambungnya kembali menitihkan air matanya karena merasa bersalah telah memaksanya bertahan di bawah terik matahari.

"Lo mau ke mana?" tanya Caca yang seketika mendapati Bumi yang terlihat buru-buru. Pergerakkan Bumi menimbulkan suara yang cukup nyaring karena kursi yang ia duduki dengan sengaja ia dorong ke belakang saat hendak berdiri. Lalu, melangkah pergi keluar dari ruang UKS.

Kedua tangan Bumi meraih pintu. Hendak membukanya. Setelah membukanya ia menengok ke belakang "Pak Gerhana," ujarnya lalu pergi meninggalkan ruangan itu.

"Eh,,lo mau appp,,," Caca belum selesai berbicara. Namun, mulutnya seperti terkunci, berhenti di ujung huruf P. Ketika Bumi pergi meninggalkannya begitu saja.

Matanya yang masih terlihat berkilauan itu kian kembali menatap Ari yang terbujur di depannya. "Ri please dengerin gue. Bangun Ri bangun," ujarnya lembut mendayu bak tanpa gairah.

Seketika ada yang bergerak dari sudut mata Ari. Caca yang mendapati itu langsung beranjak bangun dari duduknya. Lalu, mendekap Ari. "Syukur lo bangun Ri," bisiknya di sela-sela dekapannya. Kemudian, kembali memandang sahabatnya yang pucat itu. "Maafin gue ya Ri," sambungnya.

"Maaf?"

"Iya maaf karena udah maksa lo buat tetap bertahan di bawah terik matahari siang bolong. Padahal, lo udah ngadu ke gue kalo lo capek tapi gue malah gubris kata-kata lo agar lo tetap bertahan tanpa mikir keadaan lo. Maaf Ri," terangnya merunduk yang sesekali sesenggukan.

"Gak perlu minta maaf. Lo gak salah, Ca. Apa yang lo lakuin udah bener kok. Soal kedisiplinan juga hukuman dari Pak Gerhana memang tidak bisa dianggap sepele. Gue ngerti, lo takut masalah ini akan menjalar kan kalo enggak diselasaikan-selesaikan?" jawabnya berusaha bangun dari posisi tidurnya.

Caca yang mendengarnya langsung tersenyum sembari manggut-manggut. "Sekali lagi gue minta maaf Ri," Caca masih bersikeras meminta maaf, meski Ari sudah menjelaskan bahwa ia mengerti keadaan.

"Udah deh maaf-maaf mulu lo, mending usap air mata lo," ujar Ari sedikit tersenyum. Tangannya meraih air mata yang hendak jatuh di pipi Caca. "Lo jelek tau kalo nangis," sambung Matahari menciptakan suasana hidup antar keduanya.

"Ihh,, lo yaa. Sakit juga masih sempet-sempetnya rese," Caca tertawa lalu diimbangi oleh Matahari.

"Ngomong-ngomong, lo kok ada di sini. Bukannya lo masih di hukum?"

"Berhubung lo udah mendingan. Gue pamit buat lanjutin hukuman gue. Soal hukuman lo, tenang gue udah nyuruh orang buat bilang ke Pak Ger kalo lo sakit," Caca beranjak bangun dari tempat duduknya. "Lo gak perlu pusing buat mikirin hukuman dari Pak Ger. Gue bakal tetep nemenin lo kalo lo dapet hukuman susulan. Yang penting lo sehat aja sekarang, udah, ujarnya sebelum pergi meninggalkan Ari. Salah satu petugas UKS yang datang pun, kian menjadi teman Ari di ruangan itu. Meski datang terlambat.

"Gue pamit Ri,"

"Bumi?" lagi apa dia.

"Eh lo Ca, mau ke mana?" ujar Bumi santai biasa-biasa saja.

"Lo kok di sini. Jangan bilang,,," Ari menatao dengan sorotan elang miliknya.

"Iya. Gue minta buat cabut hukuman Ari dan pindahin ke gue," ujar Bumi senyum simpul. Lalu, kembali hormat menghadap Bendera.

Caca yang mendengarnya tak habis pikir. Bagaimana bisa seorang Bumi melakukannya hanya demi Matahari. Meski, Bumi terkenal ramah ke semua orang. Tapi kali ini, pasti ada apa-apa.
Caca terus memikirkannya sembari memposisikan dirinya di samping Bumi.

"Dan sekarang mending lo balik ke UKS, temenin Matahari," ujar tiba-tiba cowok di balik tubuhnya.

"Gue masih kena hukum Pak Ger," ketus Caca kembali menghadap Bendera.

"Hukuman lo udah pindah ke gue mending lo cabut," ujar Langit menatap sendu.

Tak ada jawaban yang keluar. Awan-awan indah seolah menjadi saksi bisu. Bahwa di antara Langit dan Caca masih terbelit satu sama lain. Apalagi dengan Langit yang dengan tiba-tiba menggantikan hukuman Caca. Kini, semesta menjadi saksi bahwa rumor yang beredar memang benar-benar pernah ada.

Caca melangkahkah kakinya menjauh dari lapangan. Meninggalkan Bumi dan juga Langit. Sesekali ia menengok ke belakang. Dua cowok sedang berada di tengah-tengah lapangan. Berdiri tegak dengan tangan hormat kepada Bendera. Langkahnya terdiam, ia memejamkan matanya untuk beberapa detik setelahnya. Lalu, melanjutkan untuk menemui Ari.

TBC—

Diketik dengan 1444 kata.

Bumi untuk Matahari [On Going]Where stories live. Discover now