3. RUMOR LANGITCACA

270 145 114
                                    

3. RUMOR LANGITCACA

"Jika bukan karenanya yang indah, tak mungkin setenggelam ini aku dalam kenangannya." —Cahaya Ananta

***

Pagi itu, Caca hendak berangkat sekolah. Mamanya selalu meninggalkan bekal untuknya sebelum ia berangkat kerja. Meski tempat yang dituju keduanya sama, yaitu SMA Antariksa. Tetap, sejauh Caca sekolah, orangtua Caca justru melarangnya, bahkan untuk menemuinya di sekolah. Baginya, ia bekerja sebagai tukang bebersih akan mempermalukannya saja.

"Caa," teriak Ari dari seberang sana.

Ari melambai-lambaikan tangannya.

"Tunggu gue," ujar Ari setelah baru saja turun dari motor Galaksi.

"Jangan lari-lari, ntar jatoh nangis," ujar Galaksi menonton adiknya berlari menghampiri temannya di seberang sana.

Ari berhenti sejenak, menatap lekat Galaksi. Raut wajahnya terlihat ditekuk. "Ih apasih Abang," kesalnya lalu melanjutkan langkahnya.

Galaksi yang mendapati itu langsung tersenyum simpul. Kebahagiaan Ari adalah kebahagiaannya juga. Tak lama ia berdiri dalam tumpangan keren miliknya, memastikan adiknya baik-baik saja, lalu ia bergegas. Karena ada keperluan mendadak yang harus ia selesaikan bersama teman-teman kuliahnya. Alamat, Galaksi hanya bisa mengantarkan adiknya sampai pada tempat toko kecil yang letaknya berada di seberang sekolah adiknya.

"Tumben enggak masuk sampe kelas?" ujar Caca mengundang tawa Ari.

"Ih apasih lo Ca," Ari nyengir, lalu terpejam beberapa detik. "Sampe gerbang doang kali," sambungnya.

"Ya abis, udah gede juga ngapain masih dianterin, kayak bocah TK aja lo Ri!" kalimat yang diucapkan Caca kali ini benar menggubris benak Ari. Pasalnya, ini bukan keinginannya. Tidak ada yang salah dari perlakuan Galaksi terhadapnya. Sudah pattennya, seorang Kakak melindungi adiknya. Apalagi alasan Galaksi yang pure hanya untuk membuat adiknya bahagia.

"Btw, lo udah buat PRnya Pak Ger?" tanya Matahari ketika keduanya berjalan beriringan menaiki tangga.

Bola mata Caca berputar. Lalu, membengkakkan pipinya layaknya meniup balon. Pandangannya tak tetap. Namun, ujungnya ia merekahkan senyumnya bak anak polos yang tak pernah tahu apa-apa.

"Lah lo kenapa Ca?" Ari mendekatkan posisinya. Menempelkan tangannya pada kening Caca dengan tatapan melongo.

"Gue belum," Caca sedikit terkekeh garing. Menggaruk-garuk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. "Tadinya gue mau nyalin ke lo," sambungnya cengar-cengir.

***

"Kumpulkan PRnya!"

Seraya yang mendengar langsung bergegas mengumpulkannya ke depan. Apalagi mengingat kedisiplinan Pak Gerhana akan waktu. Tidak ada yang berani berleha-lehe di dalam pelajarannya.

"Ri gimana ini?" Caca berbisik cemas.

"Kita bisa-bisa dihukum ini," ujarnya masih berbisik-bisik. Mimik takut kian terbentuk di wajahnya.

"CACA," Pak Gerhana yang kian sadar kegelisahan salah satu muridnya.

"I,,,iya, saya Pak," sahutnya mengangkat tangannya.

"Mampus," gumam Matahari mendengus kesal. Pandangannya ia alihkan ke langit-langit atap kelasnya. Tangannya meraih rambutnya yang tak gatal lalu turun pada area wajah layaknya membasuh muka.

"Mana PR kamu?" tanya Pak Gerhana yang mulai mencurigai gerak-gerik muridnya.

"Anu,,Pak,, anu," Caca terbata-bata. Bahkan untuk menjawabnya, ia begitu gugup.

Bumi untuk Matahari [On Going]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora