Chapter 17

65 42 3
                                    

"Seringkali ketulusan tidak bisa di ungkapkan dengan berbagai kata. Namun bisa diperjelas oleh tindakkan yang kadang tidak masuk akal."
⭐⭐⭐

Gadis itu tersenyum simpul sambil berjalan dengan anggunnya menghampiri saya, kemudian berkata, "Prof. Hafiz belum mencicipi satu pun hidangan yang ada disini kan?" Tanya Ellya yang ragu-ragu saya angguki.

"Kalau begitu sekarang kita makan yuk, biar saya yang am_______"

"Oh, Ellya. Saya rasa belum ingin makan saat ini," Potong saya menolak. Saya sengaja menyela ucapan Ellya karena rasa khawatir yang di akibatkan oleh pikiran saya. Mata saya sesekali melirik ke arah yang dituju oleh Aisyah tadi. Namun saya tidak lagi melihatnya. Kemana dia, dan apa yang ingin dilakukan wanita itu?

"Prof. Hafiz.. Yang namanya dalam sebuah acara itu gak harus nunggu lapar dulu baru makan," Tukas Ellya lagi.

Saya benar-benar tidak punya kata-kata untuk menjawabnya. Bahkan saya tidak bisa memikirkan alasan apa lagi yang harus saya berikan kepadanya. Sebenarnya yang dikatakan Ellya tidaklah salah. Namun saya rasa waktunya lah yang salah.

Mulut saya terasa gugup saat ingin bicara, hingga akhirnya sesuatu berdering dari dalam saku jas yang saya pakai. Saya sedikit lega karena kesempatan ini mungkin bisa saya jadikan alasannya, "Ellya, maaf! Saya harus mengangkat telepon ini dulu. Permisi," Kata saya kemudian beranjak pergi meninggalkan Ellya yang hendak bicara.

Kekhawatiran saya semakin menjadi-jadi saat melihat panggilan dari papa yang tertera di layar handphone saya. Oleh karenanya saya jadi mengabaikan panggilan Ellya yang jaraknya mulai tertinggal jauh dengan saya. Tanpa menunggu lama saya pun menggeser panel hijau itu, "Assalamu'alaikum, Pa." Ucap saya ketika detik panggilan sudah dimulai.

"..."

"Apa, Pak? Papa masuk rumah sakit?" Tanya saya antusias setelah mendengar perkataan seseorang dari seberang sana.

"..."

"Pak Heru tenang aja. Malam ini juga saya akan berangkat kesana. Saya minta Bapak tolong jaga Papa saya di rumah sakit ya," Kata saya dengan nada terburu-buru.

"..."

"Iya, Pak. Wa'alaikumussalam," Ucap saya sebelum akhirnya panggilan itu berakhir. Saya mengusap wajah frustasi mengingat keadaan yang menimpa saya sekarang.

Besok adalah acara resepsi pernikahan Andra dan Mentari. Namun di waktu yang sama juga saya harus berada di Singapura untuk menghadiri rapat penting dengan semua kolega perusahaan disana sebagai pengganti papa. Saya benar-benar dilema. Saya tidak tahu bagaimana cara mengatakannya pada Andra dan juga Tante Vina.

Saya cukup bersyukur karena alasan papa masuk rumah sakit kali ini hanya karena kelelahan saja. Tetapi disisi lain masih ada hal yang saya khawatirkan.

Saya berjalan menuju area belakang dan di sanalah saya berhasil menemukan sosok Aisyah. Dia tengah mengusap airmatanya setelah melihat kedatangan saya, kemudian menormalkan kembali mimik wajahnya. Mencoba untuk tidak terlihat setelah menangis oleh saya. Padahal sebenarnya sudah percuma.

"Prof. Hafiz ada perlu apa kesini? Acara sama pengantinnya kan ada di luar, bukan disini," Tanya Aisyah sedikit judes tanpa menoleh sedikit pun pada saya yang tengah berjalan menghampirinya.

Saya berdiri dengan jarak satu meter lebih darinya untuk melindungi status saya yang disini adalah dosennya, "Saya ada perlu sama kamu," Jawab saya seadanya.

"Saya tahu kok," Kata Aisyah singkat dengan masih mengalihkan pandangannya ke arah lain. Saya memaklumi dan tahu persis alasannnya. Wanita selalu seperti itu jika menutupi lukanya. Bahkan dia akan sangat malu jika ada pria yang melihat bekas tangisan di wajahnya.

Dear, Imam KuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang