Chapter 16

101 68 17
                                    

"Saat seorang manusia telah jatuh hati pada seorang lawan jenisnya, maka kekhawatiran yang sesungguhnya adalah takut kehilangan."
⭐⭐⭐


Cahaya bulan memang tidak ada tandingannya dengan apapun yang ada di bumi. Selain sinarnya yang terang, ada juga keindahan yang sulit di artikan bagi penanti setianya. Itulah sebabnya saya berdiri disini malam ini.

Di taman samping rumah yang berhadapan langsung dengan kolam renang, saya berusaha menikmati pemandangan indah yang di anugrahkan Allah malam ini untuk seluruh penghuni bumi. Namun tetap saja perasaan dan pikiran saya berkecamuk. Dan lagi-lagi ini soal Aisyah.

Kadang saya merutuki diri sendiri dan menyesali waktu yang mempertemukan saya dengannya. Dan dialah satu-satunya penyebab alasan saya berdiri disini pada jam 23.55.

Tadinya saya telah berniat akan tidur cepat malam ini. Namun sayangnya seletih apapun saya sekarang, hal itu tidak akan berpengaruh sama sekali pada mata saya. Karena apa yang ada di kepala saya tengah bekerja dan memaksa saya untuk tetap terjaga.

Tiba-tiba saya dikejutkan oleh kedatangan seseorang, "Astaghfirullah! Ini beneran Mas Hafiz kan?" Kata seorang pria paruh baya yang kerap saya panggil Mang Ujang. Sontak saya pun menoleh ke arah sumber pemilik suara tersebut.

Saya tersenyum tipis seraya berkata, "Iya Mang, ini saya. Mang Ujang lagi nyari apa malam-malam begini?" Saya balik bertanya pada Mang Ujang yang tengah celinap-celinup dengan senter yang menyala dan di arahkan ke beberapa tempat.

"Tadi Mang Ujang mengira kalau diluar sedang ada maling. Tapi orang yang Mamang kira maling itu, ternyata tuan rumah sendiri. Heheehe.. Maaf ya, Mas.." Jawab Mang Ujang terkekeh menunjukkan deretan giginya pada saya.

Saya pun memaklumi anggapan dari Mang Ujang tersebut. Karena setelah beberapa tahun yang lalu, baru kali ini saya kembali berdiri disini sambil menatap langit dengan berbagai macam beban pikiran yang ada, "Iya Mang Ujang, tidak apa-apa kok. Lagi pula saya maklum," Jawab saya seraya tersenyum tipis kemudian mengalihkan pandangan ke langit.

Setelah beberapa detik terdiam, Mang Ujang kembali mengajukan pertanyaannya pada saya, "Ngomong-ngomong Mas Hafiz lagi ada masalah ya? Atau jangan-jangan penyakit jantung bapak disana kumat lagi Mas?"

"Alhamdulillah Papa disana baik-baik aja kok, Mang. Dan lusa baru balik kesini pas acara resepsi Andra. Lagi pula kalau seandainya jantung Papa kumat, saya tidak mungkin ada disini Mang." Jawab saya seadanya.

"Syukurlah kalau gitu, Mas. Mang Ujang ikut senang dengarnya. Lalu apa yang membuat Mas Hafiz ada disini di jam tengah malam begini? Sendirian lagi. Udara begini tidak baik untuk kesehatan, Mas." Tanya Mang Ujang lagi. Saya tidak heran jika dia terlalu banyak bicara atau bertanya pada saya. Karena bagi saya dan Papa, dia beserta istrinya sudah seperti keluarga bagi kami. Apalagi mengingat mereka sudah bekerja belasan tahun dirumah ini.

"Karena sesuatu, Mang."

"Sesuatu apaan, Mas?" Saya melihat Mang Ujang mengkerutkan dahinya yang menunjukkan kalau rasa ingin tahunya semakin besar. Seolah-olah dia tidak sabar ingin mendengar jawaban dari saya.

Saya menghela napas dalam sambil meluruskan tubuh saya hingga berhadapan dengan Mang Ujang, sebelum akhirnya saya balik melemparkan pertanyaan padanya, "Apa yang Mang Ujang harus lakukan, ketika Mang Ujang sendiri tahu kalau seandainya orang yang berada di sekitar Mang Ujang ingin bunuh diri?"

"Astaghfirullahal'adzhiim! Kalau gitu Mamang akan berusaha sebisa mungkin untuk menyelamatkannya dari perbuatan terlarang tersebut, Mas. Bahkan Mang Ujang mau mengikatnya dengan tali agar tidak berbuat hal yang akan menyakiti dirinya sendiri, Mas." Jawab Mang Ujang antusias yang membuat saya mengangguk kecil karena setuju dengan pendapatnya. Bahkan Mang Ujang juga memberikan saya gambaran dari solusinya. Tetapi bagaimana mungkin saya akan mengikat anak gadis orang? Bagaimana pun juga disana saya lah yang akan di salahkan dan di cat sebagai penculik.

Dear, Imam KuWhere stories live. Discover now