Chapter 8

234 157 42
                                    

"Jika menikah itu wajib hukumnya, maka Allah SWT pasti sudah menyiapkan kehadiran jodoh untuk saya. Tapi bagaimana itu bisa terjadi, kalau saya sendiri tidak mengharapkan lagi kehadiran seorang Hawa di dalam kehidupan ini ?"
⭐⭐⭐


Bingkai foto adalah benda yang selalu saya bawa-bawa kemana pun saya pergi. Di tengah-tengah kemacetan lalu lintas, saya sempatkan untuk mengucapkan selamat pagi pada dua orang wanita yang saat ini telah berada di sisi Sang Ilahi. Tak terasa bulan depan, sudah tepat 5 tahun mereka meninggalkan saya dan Papa. Mata ini tak berhenti berkaca-kaca jika mengingat peristiwa itu. Peristiwa yang berturut-turut membuat saya trauma untuk menginginkan kehadiran wanita baru lagi di dalam kehidupan saya.

Waktu itu, setelah saya memberanikan diri untuk melamar seorang gadis yang sangat saya cintai. Kami menjalin hubungan sudah 3 tahun lamanya. Hubungan yang di mulai di bangku universitas, hingga kami sama-sama memutuskan untuk menikah setelah wisuda S-1. Namun sayangnya saya dan dia tidak berhak memutuskan sendiri apa yang kami berdua inginkan selama ini. Karena tetap keputusan akhirnya ada pada Sang Maha Kuasa. Allah mengambil dia secepat itu karena kanker leukimia stadium akhir yang di deritanya. Bahkan sebelum saya berhasil menghalalkannya.

Peristiwa itu meninggalkan bekas yang mungkin tidak akan bisa hilang di hidup saya. Ditambah lagi 5 bulan sesudahnya, peristiwa baru pun terjadi. Peristiwa yang membuat saya sangat terpuruk dan tak berdaya waktu itu. Sepertinya tahun itu Allah benar-benar sedang menguji saya. Kekuatan, keikhlasan, ketabahan, kesabaran, dan bertahan tanpa cinta dari seorang wanita. Ketika itu saya sedang ada pertemuan penting dengan klien di kantor. Saat meeting berlangsung handphone saya bergetar, karena memang jika sedang ada klien penting di kantor saya selalu mendiamkannya.

Sekretaris saya mengatakan kalau yang menelepon itu adalah Papa saya. Saya sengaja mengabaikannya dan berniat akan menelepon Papa sesudah meeting selesai. Sekaligus ingin memberikan kejutan padanya tentang hasil meeting saat itu. Apalagi itu pertama kalinya saya mewakilkan Papa di perusahaan untuk menghadapi klien dalam memperebutkan tender. Dan atas izin Allah SWT, saya berhasil memenangkannya. Saya menjabat dengan semangat satu persatu tangan pengusaha-pengusaha sukses itu.

Dengan tak sabaran juga, saya langsung mengotak-atik layar handphone dan melihat ada banyak panggilan tak terjawab dari Papa disana. Perasaan saya jadi kacau. Disatu sisi saya bahagia dan disisi lainnya saya merasa gelisah. Saya langsung menghubungi kembali nomor telepon Papa, "Assalamu'alaikum.. Pa, gimana? Udah sampai puncak? Perjalanannya baik-baik aja kan?" Beberapa pertanyaan saya ajukan pada Papa yang saat ini sedang berkunjung ke villa keluarga kami di puncak.

"Wa-wa'alaikumussa..lam." Suara yang sedikit parau dengan nada bicara terbata-bata. Yang membuat ekspresi saya berubah drastis setelah mendengarnya.

"Hallo, Pa! Papa baik-baik aja kan? Semuanya baik-baik aja kan?" Tanya saya yang mulai gelisah setelah mendengar nada bicara Papa barusan.

"Fiz! To-toh long. Mama, a-adikmu!" Lagi-lagi perkataan Papa tidak lurus. Tapi saya bisa mendengar sangat jelas kalau Papa minta tolong meskipun dengan ucapan kalimat yang terputus-putus.

Dear, Imam KuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang