Chapter 11

186 128 31
                                    

"Tetap tersenyum dan jalanilah! Karena sesungguhnya ujian selalu diberikan Allah pada setiap hamba-Nya yang mampu bersabar."
⭐⭐⭐

Jam 16.45 aku sudah sampai dirumah dengan membawa 1 box berisi kartu undangan. Dengan susah payah aku berusaha mendorong pintu pagar, namun tanganku tidak bisa bekerja. Alhasil aku harus menggunakan kaki untuk membukanya, "Hiyaahh.." Akhirnya aku bisa.

"Assalamu'alaikum.." Ucapku saat berada di teras rumah sebelum masuk ke dalam. Namun langkahku terhenti saat berada di ambang pintu. Bunda berlari menghampiriku dengan wajah super paniknya.

"Syah! Kamu harus tolong Bunda dulu, Nak! Itu-ituh______" Ucapan Bunda terputus karena saking paniknya. Dan aku orang yang paling tidak sabaran. Aku pun menyela ucapan Bunda.

"Ada apa Bund? Semuanya baik-baik aja kan?" Tanyaku mulai ikutan panik. Namun Bunda masih menunjuk-nunjuk ke arah dalam.

"Aqilla, Syah.." Lirih Bunda dengan air yang mulai menetes dari matanya. Semakin tidak sabar, aku pun segera masuk ke dalam rumah.

"Aqilla kenapa Bund?" Tanyaku sembari berjalan tergesa-gesa menuju ruang tengah. Sementara Bunda mengikutiku dari belakang dengan langkah tak kalah cepatnya denganku.

"Syah, lihat Aqilla kejang-kejang!!" Kata Syifa padaku seraya panik dan duduk memeluk Aqilla. Melihat keadaan Aqilla saat ini aku jadi semakin cemas. Aku segera meraba dahinya, dan itu sangat panas sekali. Matanya sedikit terbuka, napasnya juga terlihat sesak, dan wajahnya pucat sekali saat ini. Seakan-akan sudah tidak ada darah lagi disana.

"Apa kamu sudah hubungi Kak Shinta?"

"Belum, Syah! Aku lupa," Jawab Syifa. Lupa adalah kata yang umum saat kepanikkan menimpa diri. Dimana otak dipenuhi dengan kekacauan dan perasaan di penuhi oleh  kekhawatiran. Aku segera meletakkan asal tas dan buku-bukuku di atas meja, kemudian segera menggendong Aqilla.

"Aisyah, kamu mau bawa dia kemana?" Tanya Bunda masih dengan kening mengkerut saat melihatku hendak membawa Aqilla pergi.

"Bund, Aqilla butuh pertolongan secepatnya. Bunda lihat keadaannya kan?"

"Ya udah, kalau gitu Bunda ikut. Syifa, kamu tolong jaga rumah dan hubungi Shinta. Bilang kalau Bunda sama Aisyah menuju ke rumah sakit tempat dia bekerja," Kata Bunda memerintahkan pada Syifa dengan nada bicara yang tergesa-gesa.

"Iya, Bund!" Jawab Syifa cepat.

Aku berusaha sedikit berlari dengan stamina yang masih aku punya menuju arah keluar kompleks. Sementara Bunda sibuk mengotak-atik layar ponselnya dengan wajah panik, "Bunda ngapain?" Tanyaku menoleh pada Bunda sembari masih berjalan tergesa-gesa.

"Bunda mau order taxi online," Jawab Bunda spontan tanpa menoleh kepadaku.

"Gak sempat, Bund! Ini sudah terlanjur sore. Jalanan pasti macet," Kataku mengingat sekarang sudah pukul 5 sore, dimana pada saat ini semua jalanan kota sudah mulai macet. Karena orang-orang yang bertugas dan bekerja diluar sana sudah berada di perjalanan menuju ke rumahnya masing-masing tentunya.

Setibanya diluar gang kompleks, aku melihat sebuah angkot berwarna merah berjalan ke arahku. Tanpa ragu-ragu aku segera menghentikannya. Dan alhamdulillah, masih tersisa beberapa tempat duduk didalam sana. Yang pastinya cukup untuk aku dan Bunda tempati.

Namun tetap saja perjalanan kami tidak bisa berjalan dengan mulus menuju rumah sakit umum di Jakarta. Mobil angkot yang aku dan Bunda tumpangi berhenti saat adanya lampu merah yang menyala disana. Aku melirik kedepan, dimana ada banyak antrian yang memanjang. Sementara lokasi angkot ini berada paling ujung di akhir deretan. Meskipun ada beberapa motor tukang ojek yang ikutan berbaris di belakang.

Dear, Imam KuWo Geschichten leben. Entdecke jetzt