29. Still Alive

112 42 175
                                    

Kupandang kosong gundukan tanah itu. Sedari tadi, aku hanya berdiri di pinggir, memilih tidak bertemu dengannya langsung. Menunggu di bawah bayangan pohon kamboja yang sebenarnya tidak bisa dijadikan tempat berteduh.

Matahari sedikit lagi berada tepat di atas kepalaku. Setelah semua orang pergi dan tempat itu kosong dari kehadiran para manusia yang hidup, aku menghampirinya. Bunga lavender di tangan kuletakkan tepat di depan batu bertuliskan namanya.

"Aku berharap kamu akan muncul dan mengejutkanku, mengatakan bahwa ini hanya leluconmu yang lain, sehingga bunga ini kuberikan langsung padamu walau ini bukan dari kebunku. Belum. Nanti akan kuberikan pastinya. Tapi tidak bisa. Aku sendiri yang melihat tubuhmu masuk ke dalam sana."

Hening. Tentu saja. Siapa yang mau menjawabku. Arwahnya? Lebih bagus begini sebenarnya, artinya ia benar-benar pergi dengan tenang. Qarin*-nya pun tidak menjadi arwah yang gentayangan. Tapi aku masih tidak rela menerima kenyataan ini begitu saja.

Aku melirik ke tas di tanganku yang tadi diberikan Fei padaku.

"Teteh minta ini diberikan pada Kak Axel bila terjadi sesuatu padanya. Kalau dia selamat, dia sendiri yang akan memberikannya. Pokoknya ini punya Kak Axel sekarang."

Tas pinggang berwarna hitam yang selalu Nata pakai ke mana-mana. Ada tali untuk dikaitkan ke paha juga. Berat. Pasti ada isinya.

Adzan Dzuhur terdengar. Aku berlutut mengelus batu nisan. "See you, aku akan kemari lagi next time. Aku masih harus memberikan lavender dari kebun padamu. Rest in peace, Nata."

Seusai sholat Dzuhur, aku duduk di atas ayunan yang ada di taman masjid itu. Kubuka tas itu dan memeriksa isinya.

"Eh?"

Buku catatan yang kuberikan padanya? Dia ganti sampulnya? Kenapa jadi jahitan perca biru-hitam-kelabu? Kelihatannya sampul tambahan, karena sampul kulit hitam sebelumnya ada di bagian dalam kain perca.

Di kancing pengaitnya, ada kertas bertuliskan, 'Waktu itu aku hanya meminjamnya. Sekarang kukembalikan padamu, tapi kertas yang sudah diisi di dalamnya enggak kukeluarkan. Kamu harus membacanya kalau Fei yang memberinya padamu.'

Kubiarkan dulu, menaruhnya di atas pahaku. Melanjutkan melihat isinya yang lain. Sebuah carabineer yang dialihfungsikan menjadi gantungan untuk beragam benda.

Magnesium gesek. Dua buah peluit, dengan bentuk yang tidak seperti peluit pada umumnya, berwarna hitam dan silver. Gunting kuku. Tali paracord yang digulung begitu rapi.

Lalu, ada pisau lipat dengan badan berwarna merah. Ada satu yang serupa berwarna biru, tapi itu adalah tang, senter dan kumpulan obeng yang bisa dilipat.

Di dalam tas itu juga ada amplop putih. Isinya adalah tali paracord yang dibentuk menjadi sepanjang 30 senti lebih. Kombinasi warna hitam dan kelabu. Ada kertas di dalam amplop itu. Tulisannya dari pena, yang tintanya tergesek.

Axel, happy birthday! Wish-nya sudah kutulis di surat yang sebelumnya, yang diselipkan di novel itu. Dan ini hadiah untukmu (maaf, aku enggak tahu kamu maunya apa atau belum baca buku apa). Itu gelang ya, bukan kalung. Pakainya dililit dua kali ke pergelangan tangan, lalu pengaitnya dipasang. Model anyaman gelang yang kubuat itu punya nama keren, King Cobra.

Oh iya, tasnya juga untukmu, tapi bukan hadiah ulang tahun. Masa' kuberi yang bekas pakai untuk hadiah ulang tahun? Dadakan sih, tapi nanti kuganti dengan yang baru kalau mau. Habisnya tas yang selalu kamu pakai itu terlalu besar untuk membawa satu buku catatan saja. Tasku muat kalau kamu membawa buku catatan dan botol minum, jadi untukmu saja.

INTERIM: Let Me See Your SmileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang