15. Iseng atau Balas Dendam?

156 60 330
                                    

Rambut panjang. Kemeja putih. Rok kelabu panjang di atas celana panjang seragam SMA-ku. Ini akan menjadi pengalaman paling burukku di kelas 10. "Nat, kamu serius? Aku tidak yakin dengan ini."

"Kamu kelihatan cantik. Ini bisa menjebaknya."

"Kamu ini mau apa sebenarnya?"

"Bukankah sudah kujelaskan padamu semalam? Aku bahkan sampai meneleponmu hanya untuk menjelaskannya."

Panggilan telepon semalam. Panggilan yang benar-benar membuatku ingin membolos saja dari sekolah hari ini.

"Jelaskan, Nat. Kamu mau apa sebenarnya?"

"Kamu ingat Hani?"

"Siapa? Aku tidak ingat ada anak kelas kita yang bernama Hani."

Dapat kudengar Nata mengembuskan napas panjang di seberang panggilan. "Anak kelas sebelah yang menyatakan perasaannya padamu itu, Axel! Yang waktu itu kamu malah bertanya bagaimana cara menolaknya padaku."

"Baiklah, aku ingat. Sekarang apa?"

"Anak itu kesal karena kamu menolaknya. Lalu, ia mengadu pada pacarnya-"

"Tunggu, dia sudah punya pacar, tapi malah menyatakan perasaan padaku?"

"Benar, Axel. Kalau sekadar seperti itu tidak masalah. Ia malah mengadu yang tidak-tidak pada pacarnya yang bernama Gio, seorang cowok kelas 11. Ia bilang, kamu sudah berpacaran denganku tapi malah menggodanya."

Aku terdiam. Betapa mengerikannya manusia itu. Aku merasakan apa yang dirasakan Oba Yozo dari buku No Longer Human. "Lanjutkan saja. Aku tidak tau harus bilang apa."

"Nah, Gio ini menyebarkan rumor kalau kamu itu cenayang, suka berbicara sendiri di hutan belakang sekolah, tapi kamu tidak terpengaruh terhadap rumor itu. Akhirnya dia marah-marah padaku melalui chat. Menyuruhku menasihatimu, yang dikatakannya sebagai 'pacarmu', untuk tidak menggoda gadis lain, terutama yang sudah memiliki pacar."

"Aku terpikir, dari mana kamu mendapatkan info sedetail itu?"

"Ingat Ren, anak yang menerima hukuman bersama kita? Dia sekelas dengan Hani, dan dia juga yang menceritakan lengkapnya padaku. Perihal chat dari Gio, aku juga tidak menyangkalnya karena sudah tau detailnya dari Ren."

"Secepat itukah kamu percaya? Bagaimana kalau Ren yang berbohong?"

"Aku yakin Ren tidak akan berbohong soal itu. Dia mungkin bermulut ember bocor, tapi dia bukan tipe yang berbohong tanpa keuntungan untuknya. Dan, aku percaya padanya."

"Baiklah. Anggap Ren benar, lalu kamu mau apa?"

"Aku tahu Gio, dia kakak pembimbingku saat MOS kemarin. Dia sama saja dengan pacarnya. Tipe cowok yang menyasar cewek-cewek dengan moto, 'Yang penting cantik. Sisanya belakangan'. Hebatnya, Hani tidak tahu itu. Kamu bisa menebak apa yang akan aku lakukan?"

Gawat. Aku ingin bolos, pura-pura sakit flu atau cacar saja.

Aku mengerjap untuk menghilangkan kilasan memori itu. Jujur saja, aku sudah punya firasat buruk dari kemarin sejak pertanyaan itu. Tak kusangka dia benar-benar melakukan ini.

"Bisa lepas kacamatamu?"

Kulepas kacamata. Berbagai pertanyaan muncul, dan salah satunya adalah mengapa aku mau menurutinya? Betapa memalukannya ini. Aku tidak mau ini sampai masuk ke buku tahunan atau semacamnya. "Nata, kenapa tidak kamu saja yang melakukan ini?"

"Wajahku sudah dikenali. Lagipula, aku yakin kamu termasuk golongan anak cantik kalau kamu perempuan. Xel, apa kamu bisa melihat tanah dengan jelas?"

INTERIM: Let Me See Your SmileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang