24. Witness

138 56 280
                                    

"Kenapa kamu enggak bilang padaku kalau kamu ke Taman Lansia kemarin? Kan aku bisa jadi pemandu untukmu."

Aku menutup buku, mendongak ke arah Nata yang sedang duduk di dahan pohon. "Sudah ada Fei dan Kak Teddy Bear yang menjelaskan banyak padaku, Nat. Lagi pula, sebagian besar yang kupelajari kemarin tidak bergantung pada siapa-siapa. Hanya memanfaatkan alur saja."

"Fei cerita apa saja padamu?"

Aku tersenyum iseng. "Salah satunya kalau kakak pengajar itu adalah idolamu. Dan tentang Kak Aydan ...."

"Dia cerita tentang Aydan?"

"Katanya kamu enggak akan marah walau itu diberitahukan padaku."

Nata melompat dari atas dahan pohon di depanku. "Memang tidak. Tapi aku mau cerita sendiri padamu."

"Dia enggak cerita banyak kok, Nat. Cuma menyebut nama saja. Kamu ceritakan lengkapnya."

"Aydan itu kakak seniorku di PHS. Berbeda dua tahun denganku. Dia itu orangnya sekilas terkesan judes dan menyeramkan, tapi dia humoris dan baik menurutku. Dulu aku pernah memanggilnya dengan sebutan 'kakak', tapi dia menolak. Katanya dia tidak setua itu. Lalu ...."

"Memorable moments?"

"Axel! Kamu sengaja, kan?"

"Sesekali bergantian, Nat. Aku yang jadi tukang recokmu."

Nata malah semakin mengembangkan senyum yang sudah ada di wajahnya. "Baiklah, selama kamu bisa tersenyum seperti itu. Memorable moments-ku dan Aydan ... ah! Terlalu cheesy, Xel!"

"Kalau kamu tidak mau cerita juga tidak apa, Nat."

Seperti tidak mendengar perkataanku, Nata malah meneruskan, "Sewaktu camping, dia pernah meminjamkan sleeping bag-nya padaku karena sleeping bag milikku kupinjamkan untuk Tris. Penegak dan Penggalang senior diizinkan tidur di luar tenda selama dua malam itu, jadi dua malam juga dia tidak tidur menggunakan sleeping bag di udara terbuka yang waktu itu, harus kuakui, dingin. Bahkan pada malam kedua, karena jaketku dipinjamkan pada salah satu yang sakit, dia hampir meminjamkan jaketnya juga padaku. Axel, kenapa senyummu memiliki arti lain seperti itu?"

"Tidak, tidak kenapa-kenapa, Nat."

"Bohong! Kamu enggak akan tersenyum tanpa alasan seperti itu."

"Kamu beruntung menemukannya."

Nata berjongkok di depanku. "Jangan mengejekku, Xel. Dia sudah mempunyai orang yang dia suka."

"Lalu? Salahnya di mana? Mereka belum menikah, masih sah untuk menyukainya."

Nata mengguncang bahuku. Rasanya seluruh tubuhku gemetaran. Entah karena guncangannya atau cengkeraman di bahu-yang berarti ia menyentuhku. "Axel, kamu kesambet apa?"

"Kelamaan mengobrol dengan Kak Teddy Bear sepertinya."

Itu jawaban asal-asalan, tentu saja. Aku masih memikirkan tentang yang dikatakan Fei tentang Nata. Tentang MOS itu, dan sakit yang dimilikinya. Walau kepalaku tak bisa berpikir jernih, tubuhku masih saja gemetaran.

"Axel, coba kamu bayangkan kalau kamu tinggal di sebuah rumah yang terdiri dari empat ruangan. Kamar tidur, kamar mandi, dapur, dan ruang berkumpul. Lalu, aku memberimu sebuah jam dinding. Kamu akan menaruhnya di mana?"

"Tunggu sebentar, beri aku waktu untuk berpikir."

Kalau aku taruh di ruang berkumpul, aku lebih sering berada di kamar. Kalau kutaruh di kamar, nanti keluargaku atau tamu tidak bisa melihat jamnya. Lagi pula, aku perlu jam di dapur karena Kak Arsha memasak mengandalkan waktu. Tapi, aku sendiri tidak memerlukannya. Kalau kamar mandi ... serius?

INTERIM: Let Me See Your SmileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang