chapter nine II

30.6K 2.1K 3
                                    

PRILLY

Aku mengedarkan pandanganku ke wajah-wajah yang duduk mengitari meja bundar di depanku. Dahlia Poland, Ricky Harun, dan Kevin Julio tampak serius dengan naskah di tangan mereka. Michelle Joan tampak menyandarkan kepalanya ke bahu Cicio Manassero sambil membaca naskah bersama. Sementara Jessica Mila dan Ricky Cuaca tampak sedang mendiskusikan isi adegan mereka dalam naskah.

Aku menoleh pada Ali yang berada di sampingku. Meskipun ia bersandar santai di kursi, namun wajahnya tampak begitu tegang dan serius menatap naskah di tangannya. Aku menggerakkan tanganku dan menyikutnya pelan. Ali tersentak lantas menatapku penuh tanya. Alis tebalnya juga terangkat.

"Muka lo santai aja.", bisikku sambil menahan tawa.

Ali hanya memutar bola matanya sambil mendengus kesal. Ia kembali menatap naskahnya sementara aku membekap mulutku menahan tawa. Tak lama kemudian penulis naskah, sutradara dan beberapa kru datang. Proses reading pun dimulai. Sutradara dan penulis naskah secara bergantian menyampaikan hal-hal yang bisa menjadi perbekalan untuk kami sebelum memulai syuting.

Setelah proses reading dan juga meeting singkat yang mereview kendala-kendala yang dihadapi masing-masing pihak dan karakter, kegiatan pun di akhiri. Penulis naskah, sutradara dan kru meninggalkan ruangan. Aku menoleh pada Ali yang tampak lelah, wajahnya begitu kusut karena seharian duduk dan mendengarkan. Ia pasti tidak terbiasa, kali ini tidak ada sandsack yang menunggu untuk di hajarnya.

"'Prill, gue duluan ya. Ali kan?! Gue duluan ya, 'Li.", kata Dahlia yang kemudian melangkah keluar ruangan.

Aku dan Ali hanya mengangguk sambil melambaikan tangan. Begitu juga lawan mainku yang lain, yang satu-persatu melangkah meninggalkan ruangan. Aku bangkit dari kursiku dan menggapai lengan Ali yang masih tergeletak malas di atas meja. Ali bangkit dan melangkah gontai di belakangku, meninggalkan ruangan meeting.

"Duh, udah gandeng-gandengan aja.", aku menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Kak Andin yang kini menjadi asiaten Ali dan bertugas menemani Ali kemanapun selama syuting.

"Eh, hahaha. Ini, Alinya tadi males-malesan gitu. Jadinya aku seret keluar.", aku yang terkejut sontak melepas tangan Ali yang masih ku genggam.

"Itumah Ali kali yang modus biar digandeng.", sahut Kak Andin yang kemudian dipelototi Ali.

"Oh ya?", aku menggoda Ali.

"Dih, ge er.", jawab Ali singkat.

"Ah, masih malu-malu aja lo. Yaudah. Nih, gimana lanjutannya? Kata kru tadi, lusa udah mulai syuting ya 'Li?", tanya Kak Andin.

Ali mengangkat bahunya dengan malas.

"Iya, 'Kak. Lusa udah mulai. Ini dari tadi cuma diem di dalem. Ngga ngedengerin apa-apa. Makanya ngga tau. Pikiran lo kemana sih?", jawabku pada Kak Andin, lantas menoleh pada Ali.

"Pikirannya ke lo kali 'Prill.", sahut Kak Andin yang disusul kembali dengan tatapan membunuh dari Ali.

Aku tertawa melihatnya, lantas melangkah untuk menghampiri Mama yang berada di ruang tunggu. Ali dan Kak Andin melangkah di belakangku. Setelah bertemu Mama, kami memasuki lift yang membuka dan bergerak turun ke lantai dasar gedung.

Tak lama kemudian kami sudah berada di parkiran belakang, tempat mobilku dan Ali terparkir. Aku yang melihat Ali tampak kusut lantas meminta ijin pada Mama untuk menghampiri Ali sejenak sebelum pulang. Aku melangkah menuju mobil Ali yang baru saja dinyalakan mesinnya oleh Kak Andin. Ali membuka jendela ketika aku tiba di sisi mobilnya.

"Lo kenapa?", tanyaku pelan.

"Pusing gue 'Prill. Lusa gimana ya. Ngga yakin gue.", sahutnya tampak frustrasi.

"Malem ini lo kemana?", tanyaku cepat.

Ali hanya menggelengkan kepalanya sambil menatapku.

"Yaudah, ntar malem lo jemput gue.", kataku singkat.

"Lah, mau kemana?", tanya Ali bingung.

"Yaelah, Ali. Kayak gitu ditanya. Diajak jalan sama cewe cakep, tinggal bilang iya aja susah banget.", goda Kak Andin dari kursi kemudi.

"Ngga usah banyak tanya, mau gue bantuin ngga?", tanyaku sewot.

"Iya. Iya. Jam tujuh ya, gue jemput.", jawab Ali akhirnya.

"Oke! Bye!", jawabku lantas menghampiri Mama yang sudah duduk di kursi kemudi.

Aku mendengar bunyi klakson, dan mobil Ali berlalu didepanku. Aku membuka jendela dan membalas lambaian tangan Ali, lantas memakai kacamata hitamku dan menutup jendela. Aku yang merasa sejak tadi diperhatikan pun menoleh pada Mama yang memang sedang menatapku sambil tersenyum.

"'Ma?", panggilku.

"Ya?", sahut Mama yang kini menggerakkan persneling dan melajukan mobil keluar dari parkiran.

"Kenapa?", tanyaku penasaran melihat Mama yang masih tersenyum meskipun kini sibuk memandang ke jalanan di depan kami.

"Apanya yang kenapa? Biasa aja.", jawabnya sambil menahan senyumnya.

"Itu Mama kenapa senyam-senyum?", tanyaku penasaran.

"Ngga apa-apa. Mama seneng aja.", sahut Mama sambil menyodorkan kartu pada petugas parkir.

"Seneng karena?", tanyaku lagi.

"Karena anak Mama yang paling cantik, sekarang lebih ceria. Lebih seger. Pipinya aja merah terus.", goda Mama.

"Apaan sih, Mama ngarang.", sahutku sambil melempar pandangan keluar jendela di sampingku.

"Loh, siapa yang ngarang? Itu tuh, kamu ngaca tuh. Liat deh, anak Mama makin cantik dan berseri.", kata Mama sambil membuka laci dashboard mengeluarkan cermin kecil yang selalu dibawa kemanapun aku syuting.

Aku menatap bayanganku lekat-lekat sambil bertanya dalam hati, apa benar yang dikatakan Mama tadi. Aku masih menatap cermin ketika Mama tiba-tiba tertawa. Aku menoleh bingung pada Mama.

"Tuh kan, sekarang Mama ketawa sendiri.", kataku bingung.

"Ya ampun, 'Prill. Kamu ngaku aja kenapa sih, kalo kamu lagi jatuh cinta sama Ali.", kata Mama tiba-tiba.

"Ih, Mama apaan sih?! Tuh kan, ngarang terus.", sahutku sewot.

"Siapa yang ngarang? Orang Ali aja udah ngomong kok sama Mama, kalo dia suka sama kamu, sayang sama kamu. Dia juga janji sama Mama, kalo dia akan jaga kamu.", jelas Mama panjang lebar yang kusambut dengan mulut menganga.

Apa?! Ali ngomong begitu sama Mama?! Kesambet apaan dia?!, aku bertanya dalam hati. Aku memasang wajah datar saat Mama menoleh ke arahku, meskipun sebenarnya jantungku sudah bukan lagi berdetak cepat, tetapi hampir saja melompat. Ada rasa hangat yang familiar menelusup dalam diriku ketika aku membayangkan Ali berbicara serius pada Mama soal aku, bahwa ia akan menjagaku. Aku merasakan wajahku panas, pipiku pasti memerah. Aku mengetahuinya dari Mama yang tiba-tiba tersenyum ketika menoleh melihatku yang gagal memasang wajah datar.

------------------------------------------------------

yellowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang