chapter five I

31.7K 2.4K 3
                                    

ALI

Hari beranjak sore dan aku mulai kehilangan harapan untuk menemukan Prilly. Aku mulai menyalahkan diriku sendiri sambil berpikir keras, kira-kira apa yang harus aku katakan pada Mama Prilly saat dia menanyakan keberadaan Prilly. Duh, Ali! Bener-bener bego lo, 'Li!, umpatku dalam hati.

Aku menepikan motorku di sisi pantai favoritku yang agak sepi. Aku menyempatkan diriku menghirup udara sore yang sejuk. Aku merogoh saku celanaku lantas mengeluarkan ponselku. Aku membuka kunci layar, sekali lagi menyentuh layarnya dan menempelkan ponselku ke telinga.

Ponselnya aktif! Ada sebuah harapan yang menyeruak dalam diriku. Aku menunggu dan menunggu hingga pesan mailbox memintaku meninggalkan pesan. Aku berdecak kesal, sambil menatap layar ponselku dengan frustasi. 'Prill, lo dimana sih 'Prill?!, pikirku.

Aku menoleh mendengar suara berdeban dari sisi jalan. Aku melihat dua orang pria aneh dengan gerak-gerik mencurigakan bergerak cepat menutup pintu mobil box, lantas melaju cepat meninggalkan sisi jalan sepi itu. Aku mengernyitkan dahiku melihat mobil box yang bergerak menjauh. Apa yang dilakukan orang-orang itu di sisi jalan yang kosong, pikirku. Aku lantas melihat sebuah sudut di bawah pohon kelapa yang menyita perhatianku. Aku melangkah turun dari motor trailku lantas berlari kecil menuju onggokan tas yang sepertinya aku kenali.

Aku menatap handuk besar yang terhampar diatas pasir, lengkap dengan tas dan iphone yang masih menyala di atasnya. Aku membungkukkan tubuhku menggapai handwrap merah muda yang tergeletak di atas handuk itu. Darahku serasa mendidih hampir meledak. Jantungku berdegup kencang. Aku menggapai iphone yang tergeletak itu, lantas berlari kembali menghampiri motorku. Menggebernya dengan keras dan melaju mengejar mobil box yang sejak tadi sudah menghilang dari pandanganku.

------------------------------------------------------

"Woi! Berhenti lo!", teriakku dari sisi kanan supir yang terkejut melihatku.

Aku mengejar mobil box itu dan mensejajarkan laju motorku dengan mobil box itu. Supir itu tampak bingung, lantas menoleh pada rekan di sebelahnya. Aku sibuk memperhatikan jalan di depanku, sambil tetap mensejajarkan motorku.

"WOI!!! Gue bilang berhenti!", aku berteriak sekali lagi.

Supir itu justru menginjak pedal gasnya, melajukan mobil box itu lebih cepat. Aku hampir terserempet mobil box yang tampak sengaja ingin mencelakaiku. Aku mendengus marah. Rupanya mereka ingin mencoba bermain dengan emosiku, pikirku.

Aku terbutakan oleh rasa marah mengingat Prilly ada dalam box mobil itu. Aku lantas menggeber motorku lebih kencang, motorku melesat mendahului. Dengan nekat, aku menghentikan motorku melintang di depan mobil itu. Suara decit ban motorku serta abu yang berterbangan akibat gesekan ban motorku dengan aspal memekakkan telinga. Aku melihat mobil box itu berhenti dengan decit ban yang tak kalah berisik.

Aku lantas turun dari motorku. Aku yang sudab terbakar emosi membanting motor trailku tergeletak di atas aspal begitu saja. Aku tak lagi menopangnya seperti saat aku memarkir. Aku sudah tak sabar ingin menghajar orang gila yang mencoba mengetes emosi dan amarahku.

"BRAKK!!!", aku memukul sisi pintu supir itu dengan marah.

"Turun lo!", teriakku.

Supir itu turun dari mobil, aku melihat tangan kirinya memegang sebilah pisau kecil. Rekannya muncul dari belakangku, namun ia datang dengan tangan kosong. Aku melirik mereka, lantas mendengus kesal. Mereka sungguh bermain-main denganku, pikirku.

Aku melangkahkan kakiku dua langkah ke belakang, lantas menekuk lututku, memasang posisi kuda-kuda. Aku membungkus dengan cepat kedua tanganku dengan handwrap pink milik Prilly dan mengepalkan tanganku di depan dada. Aku tak akan melangkah duluan, itu prinsipku.

Si supir menghunuskan pisaunya ke arahku. Ia menggerakkan pisaunya asal ke segala arah. Aku bergerak mundur, menunduk, dan berputar menghindari mata pisau yang terus mengarah kepadaku. Aku menatap gerakan pinggangnya sejenak, hingga aku melihat arah gerak pisau selanjutnya.

Aku melangkah ke depan, menekuk lututlu lebih rendah dan menahan lengan supir itu dengan kedua tanganku. Aku menautkan lenganku dengan lengannya, lantas memelintir tangannya, membuatnya meringis kesakitan dan menjatuhkan pisau itu dari tangannya.

Aku melihat rekannya yang lain bermaksud menggapai pisau itu. Masih dalam posisi menggenggam tangan si supir, dengan cepat aku menendang pisau itu menjauh. Aku memutar tubuhku dan menaikkan si supir ke punggungku sebelum akhirnya aku membantingnya jatuh ke aspal.

Aku menoleh pada rekannya yang masih memasang kuda-kuda di belakangku. Aku melihatnya melangkah maju. Beberapa pukulan dilayangkannya ke udara. Aku tersenyum simpul melihatnya. Jadi lo mau tinju? Oke, gue jabanin. Kataku dalam hati. Aku menegakkan tubuhku dan kembali meletakkan kepalan tanganku di depan dada.

Ia maju dan melayangkan satu pukulan ke arah kepalaku, yang dengan mudah aku hindari. Ia kembali melayangkan pukulan, kali ini ke arah perutku. Lagi-lagi dengan mudah aku hindari. Tak lama kemudian, ia menghujaniku dengan pukulan tak karuan, yang bisa kukatakan mengagetkanku hingga aku merasakan nyeri yang lumayan ketika ia mendaratkan sebuah tinju di perutku.

Aku tersentak mundur dan refleks memegangi perutku. Aku melihat ia tersenyum sinis. Tapi aku belum selesai. Aku melangkah maju dengan cepat. Aku sempat menunduk dan mundur untuk menghindari beberapa pukulannya. Hingga akhirnya kesabaranku habis. Aku maju selangkah lagi dan menghujaninya dengan pukulan cepat tanpa ampun.

Aku hanya melihat tubuh laki-laki itu menggelepar saat aku menghujaninya dengan pukulan. Aku menarik napas dalam, lantas melayangkan satu pukulan telak lagi ke bagian perutnya. Laki-laki itu tersentak kebelakang sambil memegangi perutnya. Aku melihat darah segar mengalir dari sudut bibirnya.

Aku melirik supir yang sudah kuhajar lebih dahulu. Ia masih terkapar memegangi pinggangnya, yang kutebak mungkin retak karena bantinganku tadi. Aku merasa sudah tak ada bahaya lagi. Aku menghampiri pintu box mobil yang tertutup dan menarik lepas kaitannya. Aku menarik pintu yang menutup rapat. Udara dingin menyapu wajahku saat pintu terbuka.

Aku memicingkan mataku melihat ke dalam box pendingin. Aku melihat sesuatu di sudut box itu. Aku menatapnya dengan mata membelalak.

"PRILLY!!!", teriakku lantas menghambur ke dalam box.

Aku berlutut di sisi tubuh Prilly yang terbaring hampir beku di sudut box. Kedua tangan mungilnya memeluk tubuhnya sendiri yang gemetar kedinginan. Wajahnya pucat, bibirnya kebiruan. Aku langsung mengangkat tubuhnya yang terasa sedingin es ke dalam pelukanku. Aku mengangkatnya keluar dari box.

"Prill, maafin gue Prill.", aku hampir menangis melihatnya seperti ini.

Prilly masih menatap kosong ke langit sore yang hampir gelap. Tubuhnya masih gemetar dalam pelukanku. Aku menyandarkan dahiku ke dahinya. Air mataku tumpah. Aku tak bisa melihatnya seperti ini. Aku tak bisa melihatnya menderita. Aku tak tahu perasaan apa ini, tapi aku tak mau kehilangan dia.

------------------------------------------------------

yellowWhere stories live. Discover now