chapter eighteen I

19.3K 1.4K 1
                                    

ALI

Aku merasa sedikit lega karena perban yang akhirnya dilepaskan. Hanya perban gips tebal di bagian dada hingga rusukku yang masih belum boleh dilepaskan. Selain itu kini aku menjadi manusia baja dengan pen yang melekat di tulang punggungku untuk menyangganya hingga ia benar-benar sudah kuat dan mampu menopang tubuhku lagi.

Aku mengedarkan pandangan ke sekelilingku, menikmati angin yang menyapu lembut wajahku seiring kursi roda yang bergerak membawaku keluar dari rumah sakit yang sudah dua bulan ini menjadi rumahku. Aku menoleh melihat Prilly yang mendorong kursi rodaku dalam diam. Prilly nampak menyadari aku sedang menoleh untuk melihatnya, ia lantas menundukkan kepalanya dan tersenyum singkat saat menatapku.

Aku membalas senyumnya sekilas, lantas kembali menatap ke lorong panjang di depan kami. Kami terus berjalan menuju lift yang berada di ujung lorong. Prilly begitu baik padaku, ia gadis yang manis dan cantik. Ia juga seorang artis. Bagaimana mungkin ia tak memiliki seorang pacar. Ia begitu perhatian padaku, apa mungkin ia menyimpan perasaannya padaku? Seorang fighter gagal yang kini hampir kehilangan masa depanku?, pikirku dalam hati.

Prilly mengulurkan tangannya, menyentuh tombol lift ketika kami tiba di depan pintu lift. Tak lama kemudian terdengar bunyi denting, dan pintu lift pun membuka. Prilly mendorong kursi rodaku ke dalam lift dan memutarnya hingga aku menghadal keluar pintu lift. Pintu lift itu bergerak menutup perlahan sebelum lift bergerak turun menuju lantai yang dituju Prilly.

------------------------------------------------------------

Pintu lift membuka perlahan. Aku bersiap merasakan udara luar yang bebas di lantai dasar rumah sakit. Aku membuka mata dan mengedarkan pandangan ke sekeliling, namun yang kudapatkan sungguh jauh dari bayanganku. Lampu blitz menyilaukan menghujaniku dan Prilly tanpa ampun, disertai pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan bersamaan dan bersahut-sahutan membuatku pusing mendengarnya.

"Tolong, kasih jalan. Jangan sekarang. Tolong ya, Ali butuh istirahat.", aku mendengar Prilly berkata setengah berteriak sambil mendorong kursi rodaku.

Kerumunan tampak begitu ramai dan aku tak bisa melihat celah untuk kami menembusnya. Aku masih terkejut melihat apa yang terjadi. Mungkin Prilly memang aktris yang tengah naik daun. Tetapi untuk apa awak media ini berada di sini? Apa yang mereka ketahui tentang aku dan Prilly?, aku bertanya-tanya dalam hati.

Seseorang muncul diantara keterkejutan kami. Itu Aryo, aku mengenalinya. Ia aktor muda berbakat yang disebut-sebut sebagai mantan kekasih Prilly. Untuk apa dia di sini? Mungkin ia mengkhawatirkan keadaan Prilly. Aryo menghampiri kami dan membantu Prilly mendorong kursi rodaku menghindar dari kerumunan dengan cepat. Aryo dengan tenaganya yang lebih besar, mampu membantu Prilly mendorong kursi rodaku ke pintu keluar lain.

Suara bising perlahan menghilang seiring langkah kami menjauhi kerumunan awak media. Kami melewati beberapa pintu darurat sebelum akhirnya tiba di sisi lain rumah sakit. Aku melihat mobilku terparkir di sana dengan pintunya yang terbuka, lengkap dengan Umi dan Ujang yang menungguku di sisi mobil.

"Ali! Sayang, gimana keadaan kamu?", tanya Umi yang menghambur ke arahku.

"Baik, 'Mi. Cuma, tadi di sana kenapa rame banget ya 'Mi? Ada apa ya? Kamu tau 'Prill?", tanyaku sambil menatap Umi dan Prilly bergantian.

"Oh, itu. Ya pasti karena aku lah, kan aku artis.", jawab Prilly asal sambil tertawa ke arahku.

Aku yang gemas melihat tawanya, lantas mengulurkan tangan dan memencet hidung mancungnya. Prilly meringis kesakitan sambil menepuk lembut punggung tanganku. Darahku berdesir ketika melihat kedua mata cokelatnya menatapku. Ia mengingatkanku akan sesuatu yang begitu ku rindukan, namun aku tak tahu pasti apa itu.

"Duh!", rintihku sambil mencengkeram kepalaku yang tiba-tiba berdenyut.

"Lo kenapa, 'Li? Apa yang sakit?", tanya Prilly panik sambil menatapku.

"Lebih baik, Ali dibawa pulang sekarang. Ali butuh istirahat, sebelum kerumunan wartawan itu datang.", kata Aryo tiba-tiba.

Aku melihat Prilly mengangguk singkat pada Aryo yang kemudian menepuk bahuku perlahan.

"Cepet sembuh 'Li. Sorry ya.", cetusnya sebelum melangkah meninggalkan kami di ambang pintu mobil.

Aku menatap punggung Aryo yang terus bergerak menjauh sementara kepalaku masih berdenyut. Aku merasakan Prilly mengangkatku berdiri dari kursi roda. Aku pun menumpukan salah satu tanganku dan menggapai pegangan pintu mobil untuk berdiri dan melangkah masuk perlahan ke dalam mobil. Prilly pun ikut naik dan duduk di sebelahku, kemudian Umi yang duduk di samping Ujang di sisi kursi kemudi. Tak lama kemudian Ujang membawa kami menembus jalanan Jakarta yang meskipun kali ini tidak macet, namun tetap saja ramai seperti biasanya.

------------------------------------------------------------

yellowWhere stories live. Discover now