chapter thirteen III

22.2K 1.5K 1
                                    

PRILLY

Aku menatap awan mendung yang menyelimuti langit sore itu, sambil mengusap kapas dengan cairan pembersih untuk menghapus make up di wajahku. Mama sibuk memasukkan semua peralatan dan barang-barangku ke dalam tas. Satu sesi foto sudah kuselesaikan, dan langit mendung memaksaku cepat-cepat meninggalkan lokasi foto yang memang dilakukan di luar ruangan.

Aku menghela napas perlahan sambil mengerutkan dahiku. Entah kenapa sejak tadi aku diliputi perasaan tak enak. Aku menggelengkan kepalaku perlahan sambil merapikan alat makeup ku kembali ke tempatnya, lantas membawanya masuk ke dalam mobil. Aku melambai singkat pada kru dan panitia photo shoot yang juga sedang terburu-buru merapikan set, karena hujan akan segera turun. Aku masuk ke dalam mobil dengan cepat, sebelum hujan rintik benar-benar turun dan membasahi kaca mobil.

"Prill? Kamu ngga apa-apa?", tanya Mama dari kursi kemudi, membuyarkan lamunanku.

"Ngga 'Ma. Kenapa 'Ma?", tanyaku sambil menoleh dan memaksakan senyum untuk menutupi kegundahanku.

"Kamu keliatan bingung. Mikirin apa sih? Cerita dong sama Mama.", tambah Mama tanpa menoleh ke arahku.

Aku terdiam, menatap wiper yang bergerak perlahan menyeka air hujan yang menghalangi pandanganku ke jalanan yang sepi di depan kami. Aku sendiri tak tahu apa yang terjadi, hanya rasa khawatir yang terus menggelayut tanpa kutahu ada apa.

"Yaudah, kalo kamu ngga mau cerita, ngga apa-apa. Tapi kalo ada apa-apa, kamu ngomong aja sama Mama, ya sayang.", kata Mama lembut sambil mengulurkan tangan kirinya, membelai rambutku perlahan.

Aku menoleh pada Mama, lantas mengangguk sambil tersenyum tipis. Aku merogoh tasku dan mengeluarkan iphoneku, menyentuh layarnya lantas menempelkannya di telingaku. Aku mendengar beberapa nada tunggu sebelum sebuah suara menjawab teleponku.

"Halo? Prilly?", aku mengernyit mendengar suara perempuan dari seberang telepon.

Aku menatap layar ponselku sesaat untuk memastikan, dan melihat wajah Ali serta namanya benar-benar tertulis di layar iphone. Aku lantas kembali menempelkannya ke telingaku dan mendengar suara perempuan itu kembali memanggilku.

"Halo? 'Prill? Ini gue, Alya.", aku menghela napas mendengar suara dari seberang.

"Kak Alya? Kirain siapa. Ali mana Kak?", tanyaku lega.

"Ali tadi pergi kuliah, ini hapenya ketinggalan di rumah.", jawab Kak Alya.

"Pantesan dari pagi ngilang, ngga bales whatsapp.", keluhku pada Kak Alya.

"Iya, 'Prill. Ali suka lupaan. Tadi buru-buru berangkatnya. Katanya ada praktikum.", jelas Kak Alya lagi.

"Emang Ali udah sembuh 'Kak?", tanyaku khawatir.

"Masih lebam sih, tapi dia tetep berangkat. Katanya sih, udah ngga sakit.", jawab Kak Alya.

"Yaudah 'Kak, makasih ya 'Kak.", kataku mengakhiri telepon.

"Sama-sama 'Prill.", jawab Kak Alya sebekum menutup telepon.

Aku meletakkan iphoneku di pangkuanku, lantas menatap keluar jendela dan melihat titik hujan yang perlahan mereda membasahi jalanan. Aku berpikir sejenak, apakah aku harus menemui Ali untuk mencari tahu soal perasaanku yang tidak enak sejak pagi tadi?, pikirku.

Jalanan yang tak begitu ramai, membuat aku dan Mama tak membutuhkan waktu lama untuk tiba di rumah. Mama berbelok di komplek perumahanku, lantas menghentikan mobil di depan rumah.

"'Ma, aku pergi sebentar ya?", tanyaku pada Mama yang sedang melepas sabuk pengamannya.

"Loh, mau kemana? Kok mendadak?", tanya Mama bingung.

"Aku mau ketemu Ali, 'Ma. Perasaan aku ngga enak. Ali ngga bawa hape.", sahutku bingung.

Mama tampak keberatan, namun ia berpikir dan mempertimbangkan lagi sambil menatapku.

"Kamu yakin mau pergi sendiri?", tanya Mama.

"Iya, 'Ma. Aku cuma sebentar kok. Aku janji akan hati-hati.", jawabku sambil meyakinkan Mama.

Mama mengangguk singkat, lantas mengusap rambutku perlahan sebelum keluar dari mobil. Aku keluar dari kursi penumpang, lantas mencium tangan Mama yang sedang bediri di depan pagar. Aku melangkah dan masuk ke kursi kemudi, membunyikan klakson satu kali sebelum melajukan mobil dengan cepat meninggalkan Mama yang sedang membuka pagar rumah.

------------------------------------------------------------

Aku menghentikan mobil di parkiran kampus Ali yang tampak ramai. Sebuah mobil ambulans tampak berada di salah satu sudut parkiran, lengkap dengan kerumunan mahasiswa dan mahasiswi. Aku mengernyitkan dahi melihat motor trail Ali tergeletak di tepi jalanan area kampus, dengan perasaan tak karuan yang berkecamuk. Aku melangkah keluar dari mobil dengan cepat dan menghampiri kerumunan.

Susah payah aku menembus kerumunan dengan tubuhku yang mungil. Akhirnya aku tiba di depan kerumunan, menatap tubuh yang terkulai lemas di atas kasur beroda yang perlahan didorong masuk ke dalam ambulans. Aku kehilangan kesadaranku sesaat, aku merasakan sekelilingku berputar. Suara-suara di sekitarku perlahan lenyap. Seketika langit gelap.

Gelap...

------------------------------------------------------------

Aku membuka mataku perlahan, bau cairan steril menyeruak memenuhi rongga paru-paruku. Aku mengerjaokan mataku dan melihat ruangan serba putih tempatku berada. Aku mengangkat tanganku perlahan, menyentuh masker oksigen yang membantuku bernapas. Aku menoleh ke sekelilingku, aku berada di rumah sakit. Kepalaku serasa berdenyut, aku mengangkat tanganku dan menyentuh pelipisku perlahan.

Aku melihat seseorang melangkah ke arahku. Aku menyipitkan mataku, berusaha menatap sosok itu dengan jelas. Aku mengembangkan senyum tipis yang kemudian memudar perlahan saat aku melihat dengan jelas laki-laki yang menatapku penuh perhatian. Ia tersenyum simpul, lantas menggapai tangan kiriku dan menggenggamnya.

"Kamu ngga apa-apa 'Prill?", tanyaAryo padaku.

"Gue.. Gue dimana? Ali mana?",tanyaku bingung sambil menarik lepas tangabku dari genggamannya.

"Ali? Kenapa kamu tanya soal dia? Kamu ngga tau, apa yang udah dia lakuin sama aku?", tanya Aryo sambil mendekatkan wajahnya perlahan ke arahku.

Aku melihat noda darah yang mulai mengering memenuhi wajahnya. Aku melihat luka-luka dan lebam di wajahnya sambil mengernyit tak percaya akan perkataannya.

"Maksud lo apa?", tanyaku bingung.

"Ini, Ali. Petinju kamu itu, yang bikin aku babak belur gini. Aku tau, dia mau jauhin kamu dari aku. Tapi ngga gini caranya, aku salah apa sama dia?", tanya Aryo padaku.

Aku terdiam menatap wajah yang perlahan menarik rasa percayaku yang lama hilang. Aku menatapnya tak percaya sambil membayangkan wajah Ali yang terus berputar di kepalaku. Rasanya tidak mungkin Ali yang ku kenal bertindak serendah itu, apalagi pada Aryo. Aku harus bertemu Ali, harus!

------------------------------------------------------------

yellowWhere stories live. Discover now