chapter twelve IV

22K 1.7K 2
                                    

PRILLY

Aku menatap layar bioskop sambil tersenyum mendengar suara riuh di sekitarku. Wajahku dan Ali yang penuh dengan luka memenuhi layar, ending dari film yang kami bintangi disambut dengan meriah. Ada rasa hangat yang menyeruak saat tangan Ali menggenggam tanganku erat. Aku menoleh padanya dan mendapati sebuah senyum manis melengkung di wajahnya, tepat sebelum lampu menyala dan soundtrack film terdengar memenuhi studio.

Seisi studio sontak berdiri dan bertepuk tangan. Aku dan Ali menundukkan sedikit tubuh kami, sebagai tanda terimakasih atas apresiasi yang diberikan. Beberapa awak media mulai mengarahkan kameranya kepada aku dan Ali yang perlahan melangkah keluar studio, sesuai arahan panitia premier.

Aku dan Ali sontak mengenakan kacamata hitam kami saat lampu dan kamera menyorot ke arah kami. Ali merangkul pinggangku mesra, seperti yang biasa ia lakukan. Aku pun mengangguk pada kamera, menyampaikan kesiapanku bahwa aku dan Ali sudah siap untuk sesi wawancara singkat.

"Ali, Prilly gimana kabarnya? Ali tadi telat ya? Sibuk apa 'Li?", tanya awak media.

"Kabar baik. Iya tadi kebetulan ada urusan, jadi ngga bisa hadir pas presscon.", jawab Ali sambil tersenyum.

"Urusan apa?", aku refleks bertanya.

"Ada deh.", jawab Ali asal.

"Apaan ngga?", tanyaku kesal sampai lupa bahwa awak media masih menyorotkan kameranya kepada kami.

"Yakin mau di jawab?", tanya Ali jahil.

Aku berdecak kesal sambil menyilangkan kedua lenganku di depan dada dan memalingkan wajahku darinya.

"Iya, iya. Bener ya, dijawab nih. Tadi gue telat karena beliin lo itu.", jawab Ali polos dengan telunjuk mengarah pada seikat mawar putih di tanganku.

Aku sontak menoleh kaget, jawaban Ali hanya akan membuat gosip kedekatan kami semakin heboh. Ali hanya nyengir sambil mengangkat bahu. Aku pun hanya bisa menghela napas dan menyalahkan diriku sendiri karena memaksanya bicara.

"Wah, romantisnya Ali. Jadi kalian berdua udah jadian?", tanya awak media lagi.

Aku merasakan beberapa pasang mata kini mengarah pada kami, mungkin mendengar pertanyaan dari wartawan tadi. Aku mendorong mikrofon yang diarahkan Ali kepadaku.

"Loh, jawab dong.", kata Ali sambil kembali mendekatkan mikrofon ke arahku.

"Ngga. Lo yang jawab.", kataku sambil kembali mendorong mikrofon menjauh dariku.

"Jawab aja. Ladies first.", sahut Ali sambil mengarahkan mikrofon kembali mendekatku seraya menunjukkan wajah jahilnya.

"Kita ngga jadian. Aku ngga tau juga kenapa kita dikira jadian. Ngga ada yang percaya gitu kita sahabatan.", aku mengerutkan dahiku, berakting sebaik mungkin soal kedekatanku dengan Ali.

Ali bergeming masih menatapku dalam diam, dengan mikrofon masih mengarah padaku.

"Gue juga bingung, kenapa ya, ngga ada yang percaya gitu, kita sahabatan.", keluhku pada Ali, sambil menunggu Ali berakting kesal menimpali kata-kataku.

Ali memalingkan wajahnya, menatap kamera sambil mendekatkan mikrofon ke bibirnya.

"Kita ngga jadian.", kata Ali tegas sambil menatap kamera melalui kacamata hitamnya.

Aku terdiam menunggu kata-kata Ali selanjutnya.

"Iya 'kan sayang?", tambah Ali sambil menoleh ke arahku.

Wartawan di depanku mulai tersenyum, begitupun dengan kameramen dan orang-orang yang sejak tadi memperhatikan kami. Aku merasakan wajahku panas mendengar kata-kata Ali barusan. Pipiku pasti bersemu merah. Ali mengangkat tangannya dan merangkul bahuku sambil tertawa menatap kamera, aku pun ikut tertawa menghilangkan rasa kaget akan kata-katanya tadi.

Setelah beberapa pertanyaan kemudian, sesi wawancara berakhir. Kameramen dan awak media lainnya berterima kasih atas waktu yang kami berdua berikan. Aku dan Ali menyempatkan diri memenuhi permintaan foto bersama dari beberapa fans yang datang menghadiri premier film kami. Tak lama kemudian aku dan Ali mulai sibuk tersenyum ke arah kamera-kamera dan ponsel yang terarah kepada kami.

Aku sempat melihat Aryo menatapku singkat sebelum menghilang diantara kerumunan. Aku melihat tatapannya yang dingin. Aku melihat kekecewaan di matanya. Mungkin ia merasakan apa yang pernah aku rasakan. Tetapi maaf, semua sudah terlambat, rasa sakit itu pernah begitu menyiksaku. Bukan salahku jika sekarang Ali yang menggantikanmu. Setidaknya, Ali mampu membuatku merasa dicintai.

------------------------------------------------------------

yellowWhere stories live. Discover now