chapter twenty one I

18.6K 1.4K 1
                                    

PRILLY

Hari beranjak petang, mobil Ali melaju dengan tenang menembus jalanan yang tak terlalu ramai. Aku melempar pandangan keluar jendela, mengamati pemandangan perkotaan yang lambat laun berganti hijau oleh pepohonan yang semakin lebat. Aku menyadari ini bukan arah pulang ke rumahku ataupun ke rumah Ali. Aku lantas menoleh cepat, menatap Ali yang juga tampak sibuk menatap ke luar jendelanya dengan tatapan menerawang.

"'Li?", panggilku perlahan.

"Hmm?", respon Ali yang menoleh ke arahku dengan kedua alis terangkat.

"Kita mau pulang 'kan?", tanyaku bingung.

"Kita pulang, tapi nanti. Kita makan malem dulu. Ada yang mau aku omongin sama kamu.", jawab Ali.

Aku tertegun sejenak menatap kedua matanya. Kedua manik mata hitam itu kini menatapku lembut dan sendu. Aku mengenali tatapan itu.

"O.. Oke..", jawabku terbata-bata.

Ali melempar seulas senyum sebelum kembali memalingkan wajahnya kembali menatap ke luar jendela mobil. Jantungku berdegup kencang tanpa aku mengerti mengapa.

Ujang menghentikan mobil di lobby sebuah restoran yang tampak tak asing bagiku. Aku menggapai tangan Ali yang terulur membantuku melangkah keluar dari mobil. Ali menutup pintu mobil di belakangku. Ujang pun berlalu, melajukan mobil ke arah parkiran. Ali masih menggenggam tanganku, menariknya sedikit membuatku tersadar dari lamunanku.

"Yuk?!", ajak Ali sambil tersenyum dan mengangkat kedua alisnya ke arahku.

Aku tersentak lantas mengangguk dan mengikutinya melangkah masuk ke dalam restoran yang tampak familiar. Aku masih mengingat-ingat ketika Ali menarikku terus ke dalam restoran hingga kami tiba di sebuah balkon berpencahayaan temaram dengan pemandangan pegunungan lepas serta lampu-lampu yang tampak kecil dan berkedip indah dari pedesaan di kaki gunung. Aku menahan napasku sejenak ketika aku akhirnya teringat.

"Silahkan.", kata Ali dengan gaya formal.

Ia menarik sebuah kursi dan mempersilahkan ku duduk sambil menahan senyum. Aku menatapnya bingung sekaligus tak percaya. Ali kemudian melangkah ke kursi lain di seberang meja, menariknya, lantas duduk berhadapan denganku.

"Ali? Kamu..",

"Aku kenapa? Kamu suka ngga?", kata Ali memotong kata-kataku.

"Suka.. Tapi..",

"Ngga usah pake tapi-tapian. Aku seneng kalo kamu suka.", potong Ali lagi.

Aku hanya menghela napas, berusaha mengatur detak jantungku dan napasku yang memburu karena rasa tak percaya akan apa yang terjadi di depanku.

"Aku punya berita bagus buat kamu.", kata Ali tiba-tiba.

"Apa?", tanyaku tak sabar.

Ali bangkit dari kursinya, melangkah menghampiriku. Ia kemudian menggapai tanganku dan kemudian menarikku berdiri. Aku menatap wajahnya yang tampak sumringah menatapku, seperti orang yang menahan senyum.

"Kamu kenapa sih?", tanyaku sambil mengernyitkan dahi dan menahan senyum.

"Sini dulu..", jawab Ali.

Ia menarikku berdiri di depannya, lalu menggapai kedua tanganku. Aku merasakan wajahku panas. Ali menggenggam kedua tanganku, mengangkatnya di depan dadanya. Aku mengangkat kepalaku, menatap kedua mata Ali yang sudah lebih dulu menatapku tajam namun tetap lembut. Jantungku berdegup tak karuan. Ali membuatku salah tingkah.

"Aku mau nyampein dua hal sama kamu, yang pertama terimakasih, yang kedua maaf.", kata Ali tiba-tiba.

Aku masih terpaku, memperhatikan gerak bibir dan setiap kata yang keluar dari bibirnya.

"Terimakasih, untuk semua perubahan yang udah kamu bawa ke dalam hidup aku. Untuk kehadiran kamu yang selalu buat aku nyaman. Untuk semua yang kamu lakukan selama aku kehilangan ingatan aku. Untuk tetap berada di samping aku, meskipun aku sama sekali ngga inget sama kenangan kita.", kata Ali panjang lebar.

Aku melihat Ali mengatur napasnya. Matanya sedikit berkaca-kaca. Namun tak sedikitpun ia mengalihkan pandangannya dari mataku yang masih menatap takjub ke arahnya.

"Maaf.. Maaf untuk semua kekacauan yang aku akibatkan. Maaf kalau aku pernah kasar sama kamu. Maaf karena aku bukan laki-laki yang romantis, yang tahu gimana caranya merangkai kata. Maaf karena aku membiarkan kepalaku kehilangan semua kenangan indah kita. Maaf karena aku membiarkan kamu sendirian berjuang untuk kenangan kita berdua.", kata Ali dengan suara bergetar.

Aku kini melihat kedua mata itu benar-benar basah oleh air mata. Ia berkedip, kemudian bulumata yang lentik itu telah basah oleh air mata. Aku pun tak bisa menyembunyikan rasa haru. Aku mengulurkan satu tanganku, menghapus air mata yang hampir mengalir di pipinya.

"Kamu.. Kamu inget?", tanyaku terbata-bata.

Ali hanya mengangguk dengan mata terpejam.

"Aku inget. Aku inget semuanya. Aku inget kamu, handwrap pink kamu. Syuting film pertama aku sama kamu. Lokasi syuting tempat aku menyadari bahwa rasa yang aku punya jauh lebih dari sekedar partner kerja. Aku inget Aryo. Aku inget betapa dia berusaha mendapatkan kamu lagi. Aku inget Pak Suryo. Aku inget semua, 'Prill. Aku inget..", tambah Ali lagi.

Kini air matanya tumpah. Ia melepas kedua tanganku, kemudian menarikku ke dalam pelukannya. Untuk pertama kalinya, aku kembali merasakan kehangatan yang sempat hilang dari hidupku. Ali mendekapku begitu erat. Tubuhnya bergetar dengan isak tangis tertahan. Tangannya mengusap kepala dan punggungku perlahan. Aku membenamkan wajahku di dada Ali yang hangat, merasakan degup jantungnya, meredam tangis bahagiaku dalam pelukannya yang amat kurindukan.

------------------------------------------------------------

yellowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang