chapter eight III

29.1K 2.2K 1
                                    

ALI

Aku duduk tak tenang di ruang tunggu. Sesekali melihat beberapa laki-laki sebaya denganku keluar masuk secara bergantian ke ruang casting itu. Aku bisa melihat mereka melakukan beberapa gerakan laga dengan jelas dari tempatku duduk. Ruangan casting itu hanya dibatasi kaca besar sebagai pemisah ruangan.

Beberapa dari mereka tampak memiliki latar belakang beladiri yang cukup baik. Ada yang melakukan serentetan gerakan fighting dengan amat baik dan lancar. Ada juga yang tampak kaku dan melakukan gerakan sesuai instruksi yang diberikan. Aku terus menggerakkan kakiku dengan tak sabar. Aku tidak suka melihat Prilly berada di dalam sana bertemu banyak laki-laki.

Kemudian perhatianku teralih pada seorang laki-laki yang tampaknya juga merupakan salah satu peserta casting pemeran utama. Aku membelalak sambil berdecak kesal melihat wajahnya. Aryo. Aku mengepalkan tanganku geram. Jangan sampai dia yang mendapatkan peran itu. Aku tidak suka dia berdekatan dengan Prilly. Dia bukan orang yang bisa dipercaya, pikirku.

Tampaknya Prilly menyadari aku sibuk memperhatikan gerak-gerik Aryo. Prilly sempat menoleh melihatku dari dalam ruangan. Ia mendapatiku sedang menatap Aryo lekat. Lebih tepatnya mengawasinya. Aku memang sedikit terkesan dengan gerakan fightingnya. Entah dia memang memiliki latar belakang beladiri atau dia sudah berlatih mempersiapkan diri untuk casting film ini.

Tak lama Aryo keluar dari ruangan casting. Ia menuju ruangan lain yang tampaknya memang disiapkan untuk peserta casting. Aku melihat dua peserta lainnya sebelum akhirnya Prilly keluar dari ruangan itu bersama beberapa asisten dan seorang laki-laki nyentrik yang kutebak adalah sutradara film terbaru Prilly ini. Wajah mereka tampak kusut dan tidak bersemangat. Tampaknya casting tak berjalan sesuai rencana. Aku bangkit dari dudukku ketika Prilly menghampiriku.

"Gimana?", tanyaku saat wajah cantik si mungil tampak murung.

"Belum ada. Harus casting lagi sih, kayaknya.", jawabnya lesu.

Aku mengangguk paham. Lalu seorang laki-laki nyentrik yang kutebak adalah sutradaranya itu tiba-tiba datang menghampiri Prilly. Ia mengisyaratkan Prilly untuk duduk di sebelahnya, di ruang tunggu. Ia tampak membicarakan sesuatu. Sementara aku ikut duduk kembali di sebelah Prilly, menunggu mereka selesai berbicara atau tepatnya berdiskusi.

'Info selebriti terpanas hari ini, datang dari aktris muda berbakat, Prilly Latuconsina. Setelah kasus penculikan yang hampir mencelakainya, tampaknya aktris cantik ini akhirnya menemukan belahan hatinya. Beberapa kali kami mendapati Prilly tengah menghabiskan waktu bersama dengan seorang laki-laki yang sangat mirip dengan pahlawan yang menyelamatkannya dari tragedi penculikan beberapa waktu lalu. Apakah ini pertanda berakhirnya masa pencarian Prilly akan pendamping hidupnya? Apakah benar, laki-laki tampan ini yang menjadi penyebab renggangnya hubungan antara Prilly dengan aktor berbakat, Aryo Nugraha?'

Aku menatap tivi dengan mata membelalak. Tampaknya begitu juga dengan Prilly. Layar tivi besar di ruang tunggu itu menampilkan potongan-potongan gambar berisi wajahku dan Prilly. Bahkan ada rekaman video saat aku berkelahi dengan dua penculik Prilly. Wajahku terasa panas saat menyadari ada yang mendapatkan video aku dan Prilly saat aku menghabiskan waktu dengannya di pantai sore itu.

Aku melihat video panjang yang menampilkan aku berkelahi dengan dua penculik itu sedikit di dramatisir. Beberapa bagian di buat slow motion. Bahkan mereka memasang backsound yang dramatis saat aku keluar dari dalam box pendingin dengan Prilly dalam gendonganku.

Aku menoleh pada Prilly yang kini memasang wajah bersalahnya. Aku hanya menghela napas panjang. Ini resiko yang harus aku hadapi. Jujur saja aku sedikit kaget dan shock sementara Prilly tampak sudah terbiasa. Ia justru tampak mengkhawatirkanku.

"Tunggu, itu tadi dia?", aku mendengar sutradara itu berbicara dengan Prilly.

"Yang mana Om?", tanya Prilly.

"Itu, yang tadi berantem di infotainment, yang nyelametin kamu kemaren. Dia?", aku yang merasa sedang dibicarakan pun menoleh.

"I.. Iya Om. Ali yang nolongin aku kemaren.", jawab Prilly bingung.

"Wah, kenapa ngga ikut casting aja?", kalimat sutradara itu membuatku merinding.

Gue? Casting film? No way!

"Hmm. Kayaknya ngga deh, Om. Ali ini orangnya sibuk, dia atlet juga Om.", jawab Prilly membuatku lega.

"Oh, ya? Sayang banget. Padahal karir atlet kamu bisa semakin menanjak loh, kalo kamu terjun ke dunia film juga.", kata sutradara yang kini menatapku.

Aku hanya tersenyum padanya. Sutradara itu pun hanya mengangguk pasrah dengan penolakanku. Prilly pun berpamitan dan berjanji akan datang lagi esok hari. Setidaknya ada rasa lega mengetahui Aryo tidak terpilih menjadi lawan main Prilly di film terbarunya ini.

Aku membalikkan tubuh dan melangkah di samping Prilly menuju lift. Kami melangkahi papan tulisan 'Under renovation. Sorry for the inconvenience.', dan memghampiri sederet pintu lift yang masih menutup. Kami hampir tiba di depan lift ketika sebuah suara gaduh mengagetkanku dan Prilly. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri namun tak ada pergerakan. Seketika aku menengadahkan kepalaku ke atas dan membelalakkan mataku ketika sebuah balok kayu besar meluncur cepat ke arah kami.

"AWAAAAS!!!", teriak seseorang entah dari mana.

Aku lantas menarik Prilly dengan cepat dan melompat dengan menumpukan tanganku di salah satu pot besar yang berada di sana. Aku melayangkan kakiku tinggi ke udara, dan balok kayu itu terpental ke sisi lainnya dengan keras tepat setelah menghantam kakiku yang terulur. Dengan suara debam keras balok kayu itu mendarat memecahkan pot besar lainnya di seberang ruangan. Beruntung tidak ada orang lain di sekitar kami. Kemudian beberapa staf datang dan menghampiriku, menanyakan keadaanku. Mereka lalu memasang pembatas dan menyingkirkan serpihan pot yang pecah serta balok kayu besar yang hampir menimpa aku dan Prilly.

Aku menoleh dan menghampiri Prilly yang masih terduduk di sudut ruangan. Mungkin ia sedikit terbentur karena aku menarik dan mendorongnya dengan cepat tadi. Aku berlutut menghampiri Prilly yang sedang memegang lengan kirinya dengan tangan kanannya. Wajahnya tampak shock dan terkejut. Aku melihat bulir bening mengalir di sudut matanya yang indah.

Aku menarik kepalanya dan menyandarkannya di dadaku. Lalu perlahan isak tangisnya mulai terdengar perlahan. Aku mengusap punggungnya dan mengecup lembut puncak kepalanya. Aku menyadari tempat ini tidak aman. Aku lantas menarik Prilly dan mengangkatnya dalam gendonganku. Prilly tampak kaget namun ia tak memprotes. Mungkin tubuhnya masih lemas karena kaget. Aku melangkah cepat menuju lift lainnya di seberang ruangan dengan posisi masih menggendong Prilly yang kini menyandarkan kepalanya di bahuku.

"Hei!", aku menoleh kebelakang melihat sutradara yang tampaknya memanggil entah aku atau Prilly.

Aku memutar tubuhku dengan Prilly masih berada dalam gendonganku. Aku menatapnya bingung, begitu juga dengan Prilly.

"Gue ngga mau tau. Lo harus jadi lawan main Prillly di film ini. Gue ngga peduli ada apa diantara kalian, tapi chemistry kalian begitu menjanjikan, dan gue mau itu ada di film gue ini. Oke?! See you tomorrow!", katanya panjang lebar sebelum berbelok dan menghilang di sudut ruangan.

Aku dan Prilly yang masih berada dalam gendonganku, bertukar pandang bingung. Prilly tampak lebih pucat lagi. Belum hilang rasa kagetnya karena insiden balok kayu tadi, ditambah pernyataan sutradara yang memaksaku menjadi lawan mainnya. Entahlah, mungkin Prilly tidak begitu senang mendengarnya. Aku juga sedikit khawatir sebenarnya, tapi aku cepat-cepat menepis pikiranku yang tak karuan. Lebih baik aku segera membawa Prilly pulang.

------------------------------------------------------

yellowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang