chapter two

45.1K 2.8K 1
                                    

PRILLY

Matahari belum juga muncul. Hari masih sangat pagi, tetapi sesuai dengan pesan Mama pagi ini aku harus mengikuti latihan khusus untuk film action pertamaku. Aku meletakkan jari telunjuk di daguku. Aku berpikir sambil menatap kedalam tas besar yang kusiapkan khusus untuk latihan fighting pertamaku.

"Kamu udah siap sayang?", aku mendengar Mama masuk ke dalam kamarku, lalu duduk di ranjangku dan ikut melihat tas besarku.

"Kayaknya udah sih 'Ma.", jawabku sambil masih berpikir.

"Ya ampun, apaan aja ini 'Prill? Kamu mau latihan fighting apa mau jadi petinju profesional?", tanya Mama sambil tertawa, ia mengangkat sarung tinju pink yang baru kubeli dua hari yang lalu.

"Iiih, Mama. Jangan ngeledek dong. Ini kan latihan pertama aku, harus siap dong. Harus niat.", jawabku semangat sambil menggapai sarung tinjuku dan memasukkannya kembali ke dalam tas.

"Iya deh, terserah kamu. Udah siap belom? Mama tunggu di bawah ya. Sarapan udah di mobil.", kata Mama sebelum keluar dari kamarku.

"Oke 'Ma.", sahutku, lalu menutup tasku.

Aku mematut diriku di cermin sekali lagi. Aku melihat seorang gadis berusia belasan balas menatapku. Ia mengenakan kaus pas badan dan rok celana (skort) olahraga diatas lutut. Rambutnya yang biasa tergerai melalui bahu itu, kini dikuncir kuda. Aku mengerucutkan bibirku saat melihat pipiku yang tembem ini terlihat jelas saat rambutku tak terurai.

Teriakan Mama dari ruang tivi kembali menyadarkanku. Aku bergegas menyambar tasku dan menyandangnya di bahuku. Aku bergegas keluar dari kamar dan menghampiri Mama yang sepertinya sudah siap untuk berangkat. Aku mencium tangan ayahku singkat sebelum melangkah keluar rumah dan menutup pintu depan.

------------------------------------------------------

Kondisi jalanan pagi yang sepi dan lengang membuat perjalananku tak memakan waktu lama. Tak sampai satu jam aku sudah tiba di sebuah tempat berpekarangan cukup luas. Mama memarkirkan mobil di sebelah sedan sport yang terparkir disana. Aku bergegas turun dari mobil dan memandang tulisan di papan besar yang terpasang di depan bangunan utama.

"Winner's Dojo and Fighting Club", aku membaca dalam hati. Aku menoleh pada Mama yang kini berdiri di sampingku. Ia tersenyum menahan tawa.

"Kenapa sayang? Kaget?", tanya Mama.

"Tempat latihan fighting beneran?", tanyaku.

"Iyalah sayang. Yuk, masuk. Kita tanya dulu ke dalem.", ajak Mama yang kemudian melangkah di depanku.

Aku mengikuti Mama sambil menoleh kesana-kemari mengedarkan pandanganku ke sekitar. Aku membaca sebuah papan berisi peraturan yang mengharuskan untuk melepas sepatu atau sandal. Aku melepas alas kakiku di pintu masuk dojo, dan meletakkannya di tempat yang disediakan. Aku melangkah melalui pintu besar dan mengedarkan pandanganku ke sekitar ruangan yang cukup besar itu.

Aku melihat sebuah ring tinju lengkap dengan lampu sorotnya. Di sisi lain ada matras-matras yang berjejer rapi, ada sandsack. Ada juga gantungan dan rak berisi sarung tinju, sarung tangan, hand wrap, helm, body protector, dan lain-lain. Kok aku tau semua itu? Ya iyalah, kemarin udah survey di boxing and fighting shop, biar tidak terlihat terlalu amatir.

"Eh, Tante Ully!", aku menoleh dan melihat Kak Alya, memanggil Mama.

"Alya, iya sayang. Wah ini dojo kamu? Pelatihnya Prilly udah dateng belom ya?", tanya Mama.

"Bukan tante. Punya keluarga. Tante kerumah aja yuk, ada Umi. Prilly tunggu bentar ya. Aku panggilin pelatihnya.", kata Kak Alya.

Aku mengangguk dan melihat Kak Alya menggandeng tangan Mama akrab menaiki tangga, mungkin yang menghubungkan tempat ini dengan rumahnya. Aku kembali mengedarkan pandanganku keliling ruangan. Melihat sebuah lemari kaca besar berisi foto-foto dan berbagai piala, piagam dan penghargaan. Semua dalam satu nama: Muhammad Ali Syarief.

yellowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang