chapter thirteen II

21.4K 1.6K 0
                                    

ALI

Kedua mata cokelat itu memberiku tenaga baru. Lebam di wajahku mendadak tak terasa lagi. Aku menumpukan satu tinjuku, dan mengumpulkan sisa tenagaku untuk kembali bangkit berdiri. Aku menatap singkat ke arah kursi penonton, lalu kembali menatap si bengis di hadapanku. Wasit berhenti berhitung, ronde terakhir kembali dilanjutkan. Aku mengangkat kedua tinjuku kembali ke depan dada, mengabaikan rasa sakit yang membakar, kembali berkonsentrasi untuk menjatuhkan si bengis.

Si bengis terus melayangkan pukulan membabi buta ke arahku. Ia tampak begitu tergesa ingin menjatuhkanku, untuk menyelesaikan pertandingan. Aku tersenyuk singkat ketika peluang terbuka sekejap di hadapanku. Aku menarik tinjuku, dan melepaskannya dengan sisa tenagaku.

"BUGG!!!", aku melepas satu pukulan keras ke wajahnya.

Si bengis terlambat menangkis dan rupanya, aku mengerahkan seluruh tenagaku. Si bengis terpental dan berputar sebelum terhempas ke dasar ring. Ia diam, hanya gerakan napas yang membuatnya terlihat hidup. Wasit kembali berdiri dan mulai menghitung. Kakiku seketika lemas, aku berlutut sambil menahan rasa sakit yang berdenyut di tubuhku. Wasit mengakhiri hitungannya lantas menggapai satu lenganku dan menarikku bangkit, mengangkat tanganku tinggi ke udara. Suara riuh menyambut kemenanganku, aku sempat melihat Prilly tersenyum dengan wajah bersimbah air mata dari sudut ring. Aku mengangkat tanganku yang lain dan memamerkan sarung tinjuku kepadanya.

Aku menyempatkan diri kembali menatap ke arah bangku penonton. Pelatih si bengis masih berada di sana, lengkap dengan si brengsek yang mampu membuat emosiku mendidih seketika. Ia menatapku datar. Namun ada kekecewaan dan dendam di sana. Aku menarik satu sudut bibirku dan memamerkannya, membuatnya memalingkan wajah dariku dan bangkit meninggalkan stadion.

------------------------------------------------------------

Aku melangkah perlahan memasuki rumah. Prilly masih berada di sisiku. Aku tak tega melihat tubuh mungilnya menopang tubuhku sambil menyandang tas besarku, namun Prilly memaksa mengantarku.

"Mama tinggal dulu ya, sayang.", kata Tante Ully melalui jendela mobil yang membuka.

"Iya, 'Ma. Prilly di sini dulu ya, nemenin Ali.", sahut Prilly sambil melambai singkat ke arah mobilnya.

"Ali, cepet pulih ya. Salam untuk Umi kamu.", kata tante Ully sambil tersenyum.

"Makasih tante, maaf ya ngerepotin.", jawabku sambil melambai ke arah mobil Prilly yang perlahan bergerak meninggalkan pekarangan rumahku.

Prilly menatapku singkat sebelum kembali membimbingku melangkah masuk ke dalam rumah. Satu bagian tubuhku, tepatnya di bagian rusukku serasa berdenyut. Aku membungkukkan tubuhku, berusaha mengabaikan rasa sakitnya sambil mengikuti langkah Prillt ke dalam rumah.

Aku dan Prilly menginjak ruang tamu, di sambut Umi yang tampak sedikit terkejut melihat keadaanku. Mungkin karena aku sudah lama tak bertanding, Umi kembali kaget melihatku pulang dengan lebam dan memar di seluruh tubuh.

"Ali? Udah selesai tandingnya? Aduh! Kok sampe lebam parah begini? Lawannya ngga sebanding?", tanya Umi khawatir.

"Ngga, Umi. Biasa aja kok.", jawabku santai sambil menyandarkan tubuhku di sofa.

"Umi ambilin kompres air hangat ya, bentar ya, 'Li.", kata Umi tergesa-gesa.

Umi menghilang di pintu dapur, tak lama kemudian kembali dengan baskom kecil berisi air hangat dan handuk kecil.

"Biar aku aja, tante.", kata Prilly pada Umi.

"Oh, iya. Tolong ya, Prilly, tante mau bikin minum dulu ya.", kata Umi sambil menyodorkan baskom kepada Prilly sebelum beranjak kembali ke dapur.

Prilly mencelupkan handuk kecil itu ke dalam air hangat dalam baskom. Ia mengangkat dan memeras handuk itu perlahan, sebelum mengusapkannya ke wajahku. Ia melakukannya dengan sangat lembut. Namun sepertinya lebam dan memar di wajahku memang cukup parah. Sentuhan lembut saja mampu membuatku meringis kesakitan.

Aku menyentuh bagian rusukku perlahan, dan mengernyitkan dahi saat aku merasakan nyeri. Prilly tampaknya menyadari gelagat anehku. Ia mengusapkan handuk hangat perlahan ke bagian pipiku sambil mengerutkan dahi.

"Kenapa? Ada yang sakit ya?", tanya Prilly padaku.

"Oh, ngga kok. Ngga apa-apa.", jawabku tak ingin membuat Prilly khawatir.

Prilly sempat menatap wajahku penuh selidik sebelum melanjutkan mengompres wajahku.

"'Li?", panggilnya padaku.

"Hmm?", jawabku sambil mengangkat kedua alisku.

"Kamu suka banget ya, jadi petinju? Atau fighter?", tanya Prilly padaku dengan mata berkaca-kaca.

"Iya. Kenapa? Kamu ngga suka ya?", tanyaku cepat.

"Suka. Aku suka kamu jadi apa aja. Aku cuma ngga siap aja liat kamu pukul-pukulan terus sama orang. Aku sedih lihat kamu jatoh karena dipukulin.", jelas Prilly panjang lebar.

Aku menarik kedua sudut bibirku perlahan, membentuk sebuah senyuman. Aku mengangkat tanganku dan menggenggam tangan Prilly yang masih mengusap wajahku dengan handuk hangat. Prilly meletakkan handuk dengan tangannya yang lain dan membiarkan tanganku menggenggam tangannya.

"Aku ngga apa-apa, sayang. Ini duniaku. Beginilah aku. Aku atlet tinju. Aku harap kamu ngga keberatan soal ini.", kataku lantas mengecup punggung tangan Prilly perlahan.

Prilly menatapku dengan matanya yang berkaca-kaca. Namun ia mengangguk lemah sambil menunjukkan senyum diantara tangis yang ditahannya. Aku mengulurkan tanganku yang sedikit membiru dan menyelipkan rambut indahnya ke belakang telinganya sambil tersenyum menatap mata cokelatnya yang sanggup membuat rasa sakit yang kurasakan menguap entah kemana.

------------------------------------------------------------

yellowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang