Ch. 27

224 31 6
                                    

Seorang pemuda bermanik tajam memperhatikan interaksi antara seseorang yang ia kenal dan orang asing, beruntung keduanya memakai seragam sekolah yang sama dengannya

Йой! Нажаль, це зображення не відповідає нашим правилам. Щоб продовжити публікацію, будь ласка, видаліть його або завантажте інше.

Seorang pemuda bermanik tajam memperhatikan interaksi antara seseorang yang ia kenal dan orang asing, beruntung keduanya memakai seragam sekolah yang sama dengannya. Jadi, ia tidak perlu khawatir gadis cantik di sana akan dijahati. Akan tetapi ia juga tidak bisa lepas pengawasan pada kedua orang di sana.

Siapa dia? Bukan siapa-siapa. Hanya seorang pemuda yang mengenal dan pernah dekat dengan gadis itu. Tolong tekankan kata ‘pernah’ di kalimat sebelumnya karena memang begitulah kenyataannya.

“Hati-hati, Yos! Telinga lo bisa berubah jadi kayak keledai kalau menguping pembicaraan orang lain.” Kalimat itu terdengar dari mulut seorang yang kadang tidak suka bercermin pada diri sendiri. Dia tidak menguping, hanya memperhatikan interaksi kedua orang di sana—tanpa mendengar apa yang mereka bicarakan.

Apa bedanya dengan orang tadi yang menegurnya. Orang itu memperhatikannya yang sedang memperhatikan orang lain lagi.

“Tolong bercermin ya, Nona Yolanda!” cibir seorang pemuda lain yang berlalu begitu saja, tampaknya hendak mendekat ke arah gadis di sana.

Yolanda lantas mengambil cermin kecil di saku rok dan mulai bercermin. “Sudah dan refleksi ini menangis melihat keindahan makhluk di depannya.”

Kalimat menjijikan apa yang baru saja keluar dari mulut Yolanda membuat pemuda di sampingnya bergidik ngeri. “Jauh-jauh lo!”

Yolanda hanya meringis lalu mengembalikan cermin kecil di tempat semula. Ia merapikan kunciran dan berkata, “Eh, jangan dong. Gue 'kan ke sini niatnya mau nebeng lo.” Nadanya berubah memelas.

“Tolonglah, motor gue lagi dipinjem Mama buat hari ini. Aksa bocengin Lea, Bagas sama pacarnya. Cuma tinggal lo harapan gue,” jelasnya. Padahal tanpa harus seperti ini pun Yosan mau saja mengantar pulang Yolanda.

“Iya, udah. Lo bawa helm enggak? Dekat persimpangan depan itu ada razia sampai sore katanya,” ucap Yosan membuat gadis bersurai kecoklatan itu membuka mulut tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

“Enggak bawa,” lirihnya.

Yosan menggeleng. Kalaupun berita adanya razia di depan sana tidak terbukti benar tapi keselamatan Yola yang akan jadi taruhannya. “Maaf deh, kalau yang ini kayaknya gue enggak bisa bantu. Nih, gue kasih ongkos naik bis aja.”

Gadis itu menghentak-hentakkan kaki seolah tengah merajuk. “Gue 'kan lagi malas desak-desakan, Yosan. Makanya bela-belain cari tebengan, pinjem ponsel lo aja sini, mau telepon Papa.”

Yosan langsung mendekap ponselnya erat-erat. “Lo punya sendiri, ngapain pinjem. Wi-fi sekolah masih nyala, enggak ada alasan buat ‘enggak punya kuota’ ya!” seru Yosan.

“Masalahnya bukan itu. Papa gue tipe orang yang lebih suka ditelepon pakai pulsa dari pada telepon kuota,” jelas Yolanda. Sebenarnya Yola membatin, Sekarang udah tau 'kan dari mana sifat rempong gue dari mana?

Dengan sedikit ketidakrelaan, Yosan menyerahkan ponsel pada Yola yang sudah makin cemberut. “Jangan lama-lama, itu pulsa dapat dari upah nemenin Mama belanja.” Tau sendiri bagaimana jiwa ibu-ibu saat shoping time dan upah yang Yosan terima hanya pulsa dua puluh lima ribu. Kata Mamanya, seharusnya ia masih bersyukur karena tanggungan kuota masih dibayar kedua orang tua, benar juga.

Di saat Yola mulai mengoceh dengan ponselnya yang ia dekatkan dengan telinga, Yosan kembali melihat ke arah dua orang yang tadinya menjadi pusat perhatiannya. Semarang hanya tinggal seorang pemuda asing yang berdiri di sana sambil menelepon.

“Iya, jangan sampai sore banget tapi Pa, bisa kecebak macet. Yola masih sama Yosan di sekolah, iya nanti Yola minta Yosan buat nemenin sampai Papa dateng.” Yosan mendelik tidak terima. Sejak kapan ia mengiyakan permintaan untuk menunggu ayah Yola di sekolah.

“Iya, makasih Papa. Hati-hati di jalan, ya.” Yolanda menutup telepon dan menyerahkan ponsel pada Yosan. “Udah enggak apa-apa, gue tau lo butuh tempat cerita tentang Lea. Gue dengan baik hati mau meluangkan waktu buat dengar cerita lo.”

Maha tidak tau diri adalah definisi yang tepat untuk seorang Yolanda.

Malamnya, Yosan masih terjadi dengan segala pikiran yang kurang baik. Apa seburuk itu dirinya hingga kini gadis itu lebih memilih pemuda yang baru dikenal sebagai orang terdekat. Atau mungkin ini artinya dia tidak dianggap lagi, bahkan sebagai seorang teman?

Ia sering diberi kesempatan untuk berbincang atau sekedar menyapa gadis cantik itu walau tidak seperti dulu. Tapi disia-siakan kesempatan itu karena terlalu malu, kesalahan di masa lalu masih sering kali melintas dalam pikirannya.

“Yos, mau main, enggak? Kita cuma bertiga, nih, di rumah Aksa.” Lagi-lagi ajakan Bagas tempo hari membuatnya ingin berubah.

***

Kembali lagi pada Yosan pagi ini. Pemuda berwajah sengak namun hati Hello Kitty yang keseharian di sekolah hanya mengisi absensi dan menumpang duduk—istilah yang diberikan para guru pada siswa yang tidak terlalu mementingkan kegiatan belajar-mengajar. Ditambah keinginannya yang tidak mau terkesan menonjol di antara murid lain, sudahlah hidup seperti ini di sekolah saja sudah cukup, jangan bebani dia dengan hal lain.

“Yos, piket!” seru si ketua kelas begitu ia memasuki ruang kelas. Baru beberapa langkah niatnya mengambil sapu, sudah ditahan salah seorang siswi yang dijuluki bintang kelas.

“Lo ambil jurnal kelas aja, kemarin kebawa Bu Amy.” Ia tidak bodoh untuk memahami maksud dari siswi ini. Semalam guru cantik bersuara indah itu memberitahu mereka lewat grup chat bahwa jurnal kelas mereka tertinggal di kelas sebelah. Siswi itu mendekat lalu berbisik, “Sekalian cari perhatian mantan, Yos, siapa tau mau balik ke elo.”

Tuhan, beri aku jantung yang kokoh. Jangan didengar yang tadi tapi boleh juga, batinnya.

Langkah Yosan menuju kelas sebelah terasa sedikit berat. Sudah begitu, ia melihat sosok Lea di depan kelas dengan pemuda kemarin, makin menjadi berat pada langkahnya. Lalu Yola datang di antara mereka, membawa buku yang diyakini sebagai jurnal kelasnya. Ada sedikit kekecewaan muncul dalam diri Yosan, ia ingin berbincang sebentar dengan Lea, meski hanya basa-basi.

"Yosan, kebetulan gue mau ke kelas sebelah buat kasih ini." Yola menyadari keberadaanya dan langsung memberikan buku bersampul biru muda itu. "Lain kali kalo Bu Amy mau keluar dari ruangan coba cek buku-buku di meja guru, biasanya selalu ada yang kebawa. Spidol kelas gue sering jadi korban soalnya," jelas Yola sambil sesekali mengingat kejadian malang yang selalu menimpa kelas mereka. Dan berakhir dengan lagi-lagi mengunjungi ruang tata usaha untuk mendapatkan spidol baru.

"Hai, Yosan." Pemilik nama menengok ke arah sumber suara, Lea yang sudah sendirian di belakang Yola. "Kamu jarang kelihatan. Enggak pernah keluar kelas, ya?"

Jika Yosan adalah manusia yang memiliki sifat sejenis dengan Bagas, maka ia akan menjawab, “Iya, nih, males keluar kalau enggak dicariin kamu.” Atau menjawab, “Cie, perhatian banget.”

Tapi tidak, ini Yosan. Dia hanya tersenyum tipis lalu menjawab, “Iya, nih, lagi banyak tugas. Jadi kadang enggak sempet walau cuma ke kantin.”

“Jangan gitu, Yos, makan siang itu juga lebih penting daripada ngejar-ngejar nilai.” Ia senang ada yang seperhatian ini. Sayangnya kalimat itu terucap dari seorang Yola, bukan Lea, seperti yang diharapkan. “Cepet cari pacar lagi sana, Yos! Lea aja udah punya, masa lo belum bisa move on."

Sial.

TBC.

Sudut Pandang ✔Where stories live. Discover now