Ch. 16

269 55 4
                                    

Juan menatap Lea yang tidak lahap memakan siomay seperti biasanya. Ada sedikit rasa khawatir menghampirinya, mungkin gadis itu tengah tak enak badan atau banyak hal yang sedang dipikirkan.

Ya. Pasti sangat banyak hal yang sedang Lea pikirkan. Buktinya sampai ia beberapa kali tampak tidak fokus, melamun. Mungkin raganya di sini tapi pikirannya sedang ada di Eropa, jangan lupakan keluarga Lea yang seperti itu keadaannya. Jadi tanah di Eropa bukanlah hal yang mustahil untuk dipijak selama semalam oleh keluarganya lalu kembali lagi ke rumah dalam semalam juga.

“Kalau siomaynya enggak dimakan, kenapa kamu beli? Sayang tau, Ya,” ucap merebut sendok di tangan Lea. Ia menyendok potongan bakso di siomay dan menyodorkan ke arah Lea untuk dimakan. “Makan atau aku pamit duluan ke ruang OSIS?”

Dengan amat sangat terpaksa, akhirnya Lea melahap potongan bakso yang disodorkan Juan. “Kalau kamu ada kepentingan OSIS, pergi aja, aku izinkan.” Mood-nya hancur? Tidak. Ia hanya mengatakan hal yang menurutnya benar. Kenapa masih ada di sini jika ada acara di ruang OSIS.

Juan bingung. Ia meletakkan sendok di piring siomay Lea dan berdeham pelan. “Kamu kenapa, sih?” tanyanya lembut.

“Kamu kenal Yosan, 'kan?” Dibalas anggukan oleh Juan. Dia tampak menumpu wajahnya dengan kedua tangan, seperti menunggu Lea melanjutan ucapan. “Pasti kamu juga tau kalau dia itu mantanku?”

Pemuda itu tidak senang dengan pembahasan ini ke depannya. Meski tidak tampak demikian. “Iya aku tau. Kenapa? Dia minta balikan sama kamu?” Bahkan mulai menebak penyebab Lea tampak memikirkan hal itu.

“Bukan. Aku teringat ucapan Noah semalam.” Ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan. Matanya memanas dan mulai berkaca-kaca. “Aku jadi ngerasa bersalah, mungkin dulu Yosan juga alami hal yang sama.”

Juan terdiam. Sama seperti yang ia dengar dari beberapa kenalan Lea, kisah Yosan-Lea berakhir begitu saja. Meninggalkan banyak pertanyaan pada orang-orang yang mengetahui hubungan mereka sebelumnya. Ada yang bilang awalnya mereka merenggang dan putus, akan tetapi tidak kalah banyak juga yang bilang mereka putus satu pihak.

Lea makin menunduk dan bahunya bergetar pelan. Ia menangis.

Pemuda di depannya hanya meraih puncak kepala dan mengusapnya pelan menenangkan. Saat ini, ia harus bersikap seperti orang dewasa. Tidak boleh cemburu hanya dengan hal seperti ini. Juan bertanya, “Kamu khawatirin dengan sudut pandang Yosan?”

***

Seorang pemuda tampak gelisah dalam kelompok belajarnya yang hening. Sadar atau tidak, dia sudah membuat teman yang lain terganggu. Ada yang memberi delikan maut menyuruhnya untuk keluar saja. Tapi tentu saja dia tidak tau.

“Lo kalau mau setoran, pergi aja! Daripada keluar di sini,” sini seorang gadis yang mendapat gelar bintang dalam kelompok belajar tersebut. Gadis itu sudah merasa terganggu sejak awal tapi baru berani bersuara sekarang.

“Apaan, sih, orang gue enggak kebelet,” sangkal pemuda itu tidak kalah sinis. “Gue dapat chat dari pacarnya mantan, artinya pertanda buruk.”

Ya. Dia tidak berbohong. Seseorang mengirimkannya sebuah pesan elektronik dan mengaku sebagai Juanda dari kelas sebelas MIPA dua. Juan siapa lagi yang dia kenal, selain Juan pacar Lea.

Yosan dalam masalah.

“Makanya jangan suka kegatelan sama mantan. Syukur deh pacarnya langsung labrak lo,” sinis gadis berkaca mata. “Gue kalau jadi cowoknya juga bakal lakuin hal yang sama. Biar mantannya tau batasan.”

Tanpa mereka sadari seseorang dari kelompok tersebut mendengarkan dengan seksama, walaupun matanya sok fokus pada buku. Ia mengkhawatirkan saudari sepupunya, mantan yang Yosan maksud. Firasatnya tidak baik mengenai chat Juan pada Yosan. Mau semenyebalkan apapun dan bagaimanapun juga Lea tetaplah bagian dari keluarganya.

“Astaga, gue cowok baik-baik, ya!” seru Yosan masih dengan perdebatan apa yang menyebabkan pacar mantannya itu sampai mengirimi pesan. Mereka bahkan sudah melupakan topik pembelajaran yang ada.

Ucapan Yosan mendapat banyak cibiran dari teman-temannya terutama yang berjenis kelamin perempuan. Juan selalu baik pada siapapun di balik wajah garangnya. “Bohong! Gue masih sering liat lo ngedeketin mantan pacar lo itu. Pasti menolong itu cuma alasan.”

Yosan tampak mengusap dada. “Kok, gue merasa difitnah gini, ya? Ingat fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan loh, Sil.”

Sedangkan Sisil, si gadis pintar, sudah menatapnya muak. Memilih tidak peduli lagi mungkin adalah yang paling tepat. Yosan makin ke sini, makin tidak jelas dan dramatis, membuat siapapun kesal, geram, serta menyesal telah meladeni ucapannya.

“Kalian diam,” ucap seseorang tiba-tiba masuk lebih dramatis dari Yosan. Kelas yang memang sedang ditinggal oleh guru itu pun sontak berubah hening. “Yosan sama Aksa ikut gue!”

“Ngapain?” tanya Aksa sebal. Masih sibuk mencatat jawaban yang ia temukan—tanpa mau berbagi dengan sesama anggota kelompok. Jika ia keluar, berarti dia harus meninggalkan bukunya. Dan berakibat pada nilainya yang akan sama rata dengan yang lain.

Dan dari situlah Yosan baru menyadari kalau Aksa berada di kelas—bahkan satu kelompok—yang sama dengannya. Ia pasti mendengar semua yang ia ceritakan, ditambah dengan kedatangan Bagas ke kelasnya. Benar-benar pertanda buruk.

Aksa mulai bangkit dari duduknya. Entah apa gunanya ia keluar sebentar sambil membawa buku tulisnya.

Pemuda berdarah Jepang itu mendengkus samar. “Hancur gue.” Lalu bangkit dari duduk dan menyusul kedua temannya yang sudah keluar dari kelas.

” Lalu bangkit dari duduk dan menyusul kedua temannya yang sudah keluar dari kelas

Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.
Sudut Pandang ✔Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt