Ch. 7

461 87 17
                                    

Lea

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Lea

“Pulang jam berapa, sih, semalam?” tanya ayah. Dengan santai sambil membaca koran harian yang bahasannya sulit 'ku mengerti.

Berbanggalah aku lahir di keluarga yang menyukai kegiatan literasi seperti ini. Tapi malas juga jika sedang berbicara tapi tidak ditatap oleh lawan bicara karena terlalu fokus pada bacaan.

“Jam dua,” jawab ibu dengan nada yang tidak senang. Huh, kesinisan di pagi hari. Aku tidak menyukainya. Mood-ku bisa hancur sepanjang hari karena yang terjadi pagi ini.

Memangnya kenapa kalau aku pulang jam dua malam? Ayah bahkan biasa pulang dini hari. Kenapa ibu hanya tidak senang denganku? Diskriminasi.

Semalam juga aku bodoh amat dengan ucapan Noah dan Yosan, akhirnya pulang terlambat. Aku berterima kasih banyak pada Yosan yang sudah bersabar dengan tingkahku semalam. Sangat menguapkan emosi kalau orang itu bukan Yosan. Mungkin orang lain akan meledak-ledak dan menyuruhku memutuskan Juan.

Tidak!

Tapi yang terjadi sekarang ... aku malah demam. Sepertinya aku tidak diizinkan masuk sekolah oleh ibu. Paham sudah hal seperti ini. Walau hanya demam lewat saja.

“Habiskan sarapannya terus minum obat!” perintah ibu yang mulai beranjak dari duduknya, sudah selesai dengan sarapannya. “Ibu titipkan surat izinmu ke Bagas.”

Aku mengangguk pelan sebagai tanda setuju. “Iya, Bu.” Jawaban yang sudah cukup jelas, aku tidak mau membantah ibu lagi. Setidaknya untuk hari ini.

“Lucunya anakku, pipinya merah.” Ayah malah masih sempat bergurau saat ibu memasang wajah garang seperti itu.

Ayah, anakmu ini sedang sakit ditambah sedikit emosi pagi hari bukan tersipu malu. Jadi, apa yang lucu.


Aku benar-benar bosan di rumah seharian. Membaca buku, bermain alat musik, menonton televisi dan memakan makanan yang ada. Semua sudah kulakukan, sepertinya demamku sudah sedikit menurun.

Apa tidak masalah jika aku pergi ke luar? Tapi aku malas keluar rumah. Tetapi juga aku ingin pergi dari rumah.

Oh, tidak. Ini adalah jam-jam jalanan sesak dengan anak sekolah dan para pekerja yang hendak pulang. Jika ada yang melihatku di luar sana, pasti mereka mengira aku hanya beralasan sakit agar tidak masuk sekolah.

Jadi ingin mengirim chat untuk siapapun dengan emotikon sedih. Mungkin dengan menajak teman-temanku ke sini jauh lebih baik. Aku hanya perlu menghubungi mereka, bukan?

Sudut Pandang ✔Where stories live. Discover now