Ch. 10

398 78 28
                                    

Lea

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Lea

Malam ini, entah ada acara apa sampai-sampai keluarga besar berkumpul di rumahku. Awalnya hanya keluarga Bagas tapi lama-lama makin bertambah. Dan puncaknya adalah keluarga dari Mas Mino.

“Gas,” panggilku pada Bagas yang sedang bercanda dengan Mas Mino. Sampai-sampai candaannya rela terjeda karena panggilanku. “Ini ada acara apaan, sih?”

“Lah, kamu enggak tau, Dek?” pekik Mas Mino, Drama King. Semoga aku tidak termakan ucapannya. “Lo enggak kasih tau dia, Gas?”

Bagas tersenyum kikuk lalu menggeleng. “Hehe, lupa, Mas.” Ada apa, sih? Bagas sampai melupakan sesuatu pertanda buruk.

Jawaban dari Bagas membuat Mas Mino berdecak kesal. “Lo gimana, sih, Gas? 'Kan gue kecewa.” Raut wajah cerahnya hilang seketika. Sudah kubilang dia Drama King. Aku masih belum tau maksud di balik dramanya kali ini.

Aku masih menatap keduanya tidak paham, sampai Mas Mino kembali bersuara. Jangan percaya, dia suka bohong. Ucapan manis hanya ada di bibirnya saja, seperti lirik lagu dari Kekanan untuk Roy.

Mas Mino menarik napas berat lalu berucap, “Orang tua kamu minta kita kumpul di sini bahas lamaran.”

“Siapa yang dilamar?” tanyaku terkejut. Pertanyaan bodoh, kenapa jatuhnya seperti memancing ke dalam drama Mas Mino?

“Ya, kamulah. Masa Luke?” kata Mas Mino enteng menyebut nama adiknya.

Blank. Ke mana semua peneguh hati ala-ala Kekanan? Seketika aku ingin menangis sejadi-jadinya. Tega sekali mereka, keluarga ini, meruntuhkan impianku.

Bagas memekik. Ia berusaha memelukku agar berhenti menangis namun kelanjutannya membuatku semakin sedih. “Cuma lamar doang, kok, Ya. Masalah nikahnya mah, bisa tunggu lo siap,” tutur Bagas buatku tidak bisa lagi membendung air mata.

“Ya ampun, Mino sama Bagas ngapain Lea?” sentak Ibu. Ia berkacak pinggang menatap tajam ke arah kedua pemuda yang suka mendramatisir keadaan saat ada kumpul keluarga.

Bagas gelagapan, sedangkan Mas Mino malah tertawa terbahak-bahak. Dari situ aku sadar, kalau aku sedang menjadi korban keusilan mereka berdua. Bodoh.

“Bukan ..., bukan lo yang dilamar, Ya. Tapi Mas Mino yang mau lamar pacarnya.” Bagas meluruskan kesalahpahaman atau lebih tepat dikatakan membenarkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk di kepalaku tadi.

Bagaimana aku tidak langsung memikirkan itu? Mereka berdua terkenal jahil tapi ... alasanku untuk dijodohkan juga tidak sedikit. Sehingga pemikiranku tanpa ragu langsung percaya.

Pertama, keluargaku dari kalangan pebisnis. Dua, aku satu-satunya perempuan di keturunan keluarga ini. Ketiga, mungkin saja ayah mencari penerus bisnisnya karena aku memutuskan untuk tidak berada di jalan hidup keluarga ini.

“Dasar korban Wattpad.” Masih saja Mas Mino meledekku.

Boleh tidak kalau aku melempar bola bowling ke wajah tampan Mas Mino agar gagal melamar pacarnya? Hm. Sepertinya diperbolehkan saja.


Bagas menghampiriku yang hanya menjadi pendengar obrolan ibu dan Tante Aisyah. Aku tau tapi berpura-pura tidak melihat dia mendekat ke arahku. Ingatkan aku untuk menjahilinya di lain hari, seserius mungkin agar dia menangis.

“Ya,” panggilnya. Kusahut hanya dengan berdeham. “Juan di depan,” lanjutnya hampir berbisik.

Aku meliriknya sinis, dia pasti mau membohongiku lagi. Bersekongkol dengan Mas Mino membawa nama Juan supaya aku lebih percaya. “Bohong.”

Dia menunjukkan ruang obrolan dengan kontak bernama “Juan XI A2”. Skenario yang sempurna, pikirku. Tapi saat aku melihat detail nomor telepon itu, memang milik Juan.

Rumah Lea rame, Gas.

Gue enggak berani mencet bell, mana lagi enggak ada satpam.

Aku langsung beranjak dan ingin memastikan sendiri. Dapat kulihat punggung seseorang di depan gerbang. Aku yakin itu pasti Juan, Bagas tidak berbohong. Aku lebarkan langkah kaki agar cepat sampai ke gerbang.

“Juan,” panggilku.

Juan berbalik dan tampak gelagapan —sama seperti Bagas yang ditegur oleh ibuku tadi. Tapi tidak lama dia tersenyum dan melambaikan tangan. Kubuka gerbang untuknya.

“Hehe, maaf ya ke sini malam-malam.” Malam? Baiklah, ini terlalu malam untukku dan Juan. Enggak apa, aku suka langit malam kok, jadi keluar semalam ini bukan masalah.

“Enggak apa, kok, kayak sama siapa aja, sih?” Sok asik, rutukku. Beruntung dia mau tersenyum menanggapi ucapanku.

Dia mengangguk kecil lalu merogoh saku jaketnya. “Nih, aku yang jemput ponsel kamu di Yosan.” Ia mengulurkan tangan untuk memberikan sebuah ponsel keluaran terbaru milikku.

Mataku berbinar melihatnya. Sudah pernah kukatakan sebelumnya kalau Juan itu perhatian. Yang kukira perhatian itu mulai hilang, sekarang kembali lagi. Dia menarik tanganku dan meletakkan ponsel di telapak tanganku, menggenggamkannya.

Aku terharu. “Makasih, Juan,” ucapku sambil membalas genggaman tangannya.

“Iya, sama-sama.” Tersenyum terus, enggak baik buat kesehatan jantungku.

“Tante, calonnya Lea udah datang.” Hampir saja aku mengumpati teriakan Bagas. Sedangkan Juan hanya menatapku bingung penuh tanya. Memberi kode lewat lirikan mata, be calm!

“Mana calonnya Lea?” timpal Mas Mino yang ikutan keluar dari dalam rumah.

Aku masih kesal dengan dua orang itu. Tolong beri aku kesabaran lebih banyak dan sangat banyak. Dan jangan lupakan niat balas dendam ku itu. Masa bodoh dengan hukum membalaskan dendam, aku harus melihat mereka sama tersiksanya denganku.

Lihat saja!

TBC.

Sudut Pandang ✔Where stories live. Discover now