Ch. 9

400 77 28
                                    

Yosan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Yosan


“Hm, bagus! Baru inget punya rumah kamu, Yos?”

Gue menghiraukan sindiran halus yang terucap dari bibir mama. Enggak biasanya beliau masih terjaga di dini hari gini, sebenernya gue dari tadi di taman komplek, inget pulang waktu kena gigit nyamuk. Bener, gue enggak langsung pulang ke rumah setelah mengantar Lea.

“Kamu besok itu sekolah, Yos.” Gue tau pasti mama mengekori gue bahkan narik lengan gue. Matanya membelalak. Entah kenapa gue merasa tangan mama sedikit dingin. “Loh, Yos, kamu bisa demam?”

Demam?

Gawat, Lea gimana? Mana ponselnya masih di gue.


“Ma ...,” rengek gue, “Lea pasti nyariin ponselnya. Izinin Yosan kembalikan ponsel Lea dulu, ya!”

Mama menggeleng tegas. “Enggak. Kamu hubungi teman Lea dulu, bilang ponsel Lea masih ada sama kamu. Jadi enggak perlu khawatir, lagipula kalau Lea kehilangan ponsel gitu doang mah, kayaknya bukan masalah besar.”

Terserah mama aja, deh. Enggak tau aja dari pagi anaknya ini udah diteror tiga orang sekaligus karena hal ini. Penerornya siapa lagi kalau bukan tiga serangkai Yola, Aksa dan Bagas?

“Tidur!” seru mama lalu keluar dari kamar gue.

“Mama gimana, sih? Orang baru bangun tidur disuruh tidur lagi,” gerutu gue sambil menunggu panggilan terhubung.

“Hallo, Yosan.”

Gue kaget bukan main waktu denger suara cewek yang ada di seberang sana. Waktu gue liat ke layar ponsel, yang terpampang di sana adalah nama Yolanda, bukan Bagas. Gue niatnya hubungin si Bagas.

“Yosan?” Suaranya terdengar lagi. “Lo mau ikut kita jenguk Lea, enggak?”

Satu hal yang buat gue malas menghubungi Yolanda dari siapapun. Yola kalau ditelepon suka ngetuk-ngetuk ponselnya, sampai kedengaran suara aneh dari seberang sana.

Eh, fokus. Tebakan gue bener, 'kan. Lea sakit. “Enggak bisa kalo hari ini, gue dikurung sama Mama gara-gara demam.”

Yola tertawa terdengar sangat sedap. Ada yang punya teman seperti Yolanda, saat lo sedang sakit malah seperti sumber energinya? Kalau iya, kita sama. “Sakitnya bisa barengan gitu. Emang lo balik jam berapa, sih?”

Gue menjelaskan semua ke Yola sebelum ada yang tanya-tanya. Mulai dari cerita Lea tentang Juan, ketemu si berandal Noah, sampai di rumah Lea, gue di taman dan waktu gue pulang dicegat mama.

Tebak apa? Yolanda minta detail kejadian saat Noah mengobati gue. Bisa menimbulkan trauma kalau terus-menerus gue bahas soal itu.

“Emang gue peduliin elo?” Balasan dari orang-orang di sana—yang hendak menjenguk Lea—membuat gue memasang wajah datar.

“Siapa tau, aja. Gue juga sakit gini lo pada enggak ada niatan jenguk gue sekalian?” Gue mencoba mendapatkan perhatian dari mereka, walau hanya bercanda saja niatnya. Sadar diri aja gue, mah.

“Enggak.” Jawaban yang sudah bisa gue duga.

Hampir aja kesulut emosi, untung enggak jadi. Dan gue kepikiran suatu hal yang mungkin bakal menyenangkan kalau terlaksana sesuai rencana.

Semoga berhasil. “Oh, iya. Nanti kalau Lea tanya-tanya tentang ponselnya atau gue—”

“Dih, PD.” Yolanda mencibir. [Percaya Diri]

“Bentar dulu, Yol.” Gue memerotes Yola yang menghentikan ucapan gue. “Pokoknya kalau Lea tanya tentang gue ataupun ponselnya, kalian bilang aja enggak tau. Bilang juga gue enggak ada kabar hari ini.”

Serius. Absurd banget gue dari kemarin. Sedahsyat inikah efek ingin  diperhatikan Lea, sebagai mantan, bukan hanya teman. Dan satu hal lagi.

“Buat apa?” tanya seseorang yang gue yakini sebagai suara Aksa. Suaranya khas penyanyi, seperti Lea. Bukan berarti harus ada cengkok, Aksa bukan penyanyi dangdut soalnya.

“Biar gue ada kesempatan ngobrol lagi sama Lea.” Sumpah, gue enggak maksud bohong ke Lea tapi kali ini harus. Untuk memastikan sesuatu.

Setelah mendapatkan persetujuan dari mereka, gue mematikan daya ponsel gue. Sangat kebetulan ponsel Lea udah dari semalem gue non-aktifkan. “Let me see ...,” gumam gue, “Seberapa peduli lo ke Lea?”

***

Gue terbangun di sore hari ketika mendengar gerutuan mama. “Heh! Tidur mulu.”

Kalau bukan mama sendiri, udah gue usir dari sini ala-ala sinetron. Berisik banget. Dan apa-apaan bilang tidur mulu, 'kan tadi mama sendiri yang nyuruh gue tidur.

Ada saksi bisunya. Itu lemari, bantal, lampu tidur, pintu kamar dan masih banyak hal lain.

“Ada temenmu di depan.” Sebentar. Loading dulu. Gue memejamkan mata sejenak, berharap Lea yang datang. Tapi tidak mungkin, kalau sedang sakit, orang tua Lea akan melarangnya keluar dari rumah.

Apa Yola sama yang lain beneran ke sini? “Siapa, Ma?” tanya gue yang sangat penasaran.

Mama tampak berpikir sebentar lalu mulai mendeskripsikan teman gue yang datang berkunjung. “Eh, enggak tau. Mama baru pernah liat dia,” jawab mama. “Cowok, tinggi, ganteng ... motor Boy Anak Jalan.”

Cowok, bukan Lea. Ganteng, bukan Lea banget. Dan ... Boy Anak Jalanan? Sinetron zaman kapan itu?

Sekilas sosok tampan Stefan William muncul di pikiran gue. Tapi enggak mungkin. Dan akhirnya koneksi menuju otak lancar jaya. “Juan?”

Ada apakah gerangan Tuan Ganteng yang mirip Boy Anak Jalanan mendatangi hamba? Apa mau melabrak? Setelah Noah, timbullah Juan. Tim hore Lea memang luar biasa.

TBC.

Sudut Pandang ✔Where stories live. Discover now