Ch. 8

403 85 17
                                    

Juan

Oops! Bu görüntü içerik kurallarımıza uymuyor. Yayımlamaya devam etmek için görüntüyü kaldırmayı ya da başka bir görüntü yüklemeyi deneyin.

Juan

Nomor yang Anda tuju sedang tidak dapat dihubungi, co—

“Enggak berangkat, enggak bisa dihubungi. Udah jelas sih, ini, dia mau putusan sama lo terus pindah,” celetuk Jourrel membuat gue melotot tak terima. Bagaimanapun orang-orang yang dengar ucapannya barusan akan melakukan hal yang sama kayak gue, melotot jijik ke arahnya yang terlalu mendramatisir keadaan. “Kenapa lo nggak coba telepon temennya?”

Dan kayaknya, gue juga termasuk orang yang terlalu mendramatisir keadaan dengan melupakan hal sesepele itu.

“Bego!” maki Jourrel.

Gue bodoamat sama makian dia dan langsung mencari kontak Yolanda —satu-satunya kontak temen Lea yang gue tau. Enggak perlu waktu yang lama Yola angkat telepon dan kedengarannya dia lagi di sebuah tempat umum.

“Hallo, Wan?” jawab dia memastikan panggilan terhubung.

“Eh, Yola, gue mau tanya boleh, enggak?” serbu gue tanpa pikir panjang.

“Boleh. Tanya aja!” Seakan tau apa yang bakal gue tanyakan, cewek bermata tajam di seberang sana jawab dengan tenang. Tidak lama terdengar suara seseorang akan yang pamit lebih baik memberhentikan angkutan umum daripada terlambat pulang. “Tapi agak cepetan dikit, ya, gue harus antar Bona dulu.”

“Lea,” ucap gue. “Lea, apa kabar?”

“Lea demam, gue rasa ini gara-gara pulang larut semalam. Dan masalah enggak bisa dihubungi, ponsel Lea lagi dipinjem temennya buat beberapa hari.” Yola bener-bener udah tau apa yang gue pikirin sekarang. “Lo jengukin, gih! Kasihan dia di rumah sendirian.”

Setelah mengucapkan banyak terima kasih pada Yola, kini gue melirik Jourrel yang tengah menghabiskan makanannya. Agak enggak tega juga ninggalin ini bocah. Tapi gue harus ke rumah Lea sekarang, keburu orang tuanya pulang kerja kalau nanti-nanti.

“Rel,” panggil gue yang cuma dibalas dehaman. “Gue mau jenguk Lea.”

Sontak membuat pemuda berpipi bulat itu tersedak. “Kenapa enggak langsung berangkat aja, sih? Itu pacar lo sakit, bego!” maki Jourrel lagi, memang dia ini paling suka banget maki gue.

“Kalau gue langsung cabut entar lo ngambek. Najis, baperan.” Akhirnya gue membalikkan makian ke dia.

Gue langsung menyambar jaket, tas dan kunci motor di atas meja. Menghindari makian Jourrel yang kesekian kalinya untuk hari ini dilayangkan khusus untuk gue.

“Juan,” panggil Lea.

Gue senyum tenang menatap Lea yang menghampiri gue. Dia kelihatan lebih pucat dari biasanya, matanya juga sedikit memerah. Walau sedikit mengkhawatirkan, setidaknya gue lebih tenang setelah liat dia hari ini. Tangan gue meraih tangannya yang hangat. “Kenapa keluar rumah? Dingin gini.”

Iya, gue enggak bohong soal udara dingin saat ini. Mendung pula, gue takut waktu Lea keluar dari rumah, hujan turun dan buat dia tambah sakit. Enggak lucu, sumpah.

Namun, dia mengabaikan semua itu. “Masuk, yuk! Kebetulan ada Aksa sama Bagas di dalem.” Gue enggak bisa nolak, dia tarik lengan gue secara paksa ke dalam rumahnya.

“Hai, Juan,” sapa si Bagas. Gue enggak tau apa yang buat dua cowok itu—Bagas sama Aksa— di saat Yola udah pulang jenguk Lea. “Pasti Lea lagi berbunga-bunga sekarang ya, Sa?” bisik Bagas ke Aksa.

Gue cuma kenal Bagas, itu pun kenal waktu dia nyapa gue yang lagi ngeliatin Lea sama si cowok Jepang itu di kantin. Si Aksa-Aksa ini gue enggak kenal, cuma sering liat dia bareng sama Lea bahkan sebelum gue kenal Lea.

Hebat. Jangan-jangan si Aksa termasuk orang-orang yang mengincar Lea sebagai calon pasangan tapi keduluan gue. Saingan gue ada di mana-mana, ya.

Enggak lama setelah Bagas bisikin dia, si Aksa langsung beres-beres isi tasnya dan bangkit dari duduk. “Gue balik dulu, deh.”

Oh, ceritanya si Aksa ini enggak suka kedatangan gue?

“Lo enggak balik, Gas?” tanya dia natap ke arah Bagas.

Bagas menggelengkan kepala sebagai jawaban. “Lo dulu,” ucapnya sambil meraih secangkir teh yang ada di meja. Dan Aksa keluar tanpa pamit pada Lea—sebagai pemilik rumah.

“Oh, iya, lupa kamu belum ada minum. Bentar, ya.” Lea menepuk kening pelan.

Jangan lakuin lagi, gue enggak suka. Tapi cuma membatin aja, enggak berani ngomong langsung. Ada Bagas, nanti gue diolok terlalu lebay.

Lea ninggalin gue bareng Bagas di ruang tamu. Canggung banget, gila. Mana si Bagas fokus ke biskuit mulu, mau gue ajak bicara, susahnya naudzubillah.

“Lea seneng banget, tuh, lo jengukin.” Tiba-tiba Bagas buka suara, walupun masih fokus sama biskuit-biskuit di meja. “Tadi waktu gue sama yang lain baru dateng mukanya kusut banget gara-gara ponsel.”

“Ponsel Lea kenapa? Kok, enggak bisa dihubungi?” tanya gue pura-pura belum pernah dikasih tau oleh Yola perihal ponsel Lea.

“Kebawa sama Yosan semalem,” ucap dia, “Haha, gue kali jadi Lea udah mencak-mencak kali, ya. Ponsel baru udah dibawa orang aja, Yosan pula yang bawa.”

“Yosan?” tanya gue.

Apa salahnya kalau Yosan yang bawa? Yosan siapa? Jangan-jangan—lagi—dia yang suka bajakin ponsel Lea.

“Loh? Lo pacarnya Lea tapi enggak tau Yosan? Bah, jangan-jangan lo juga enggak kenal gue?” Gue gelengin kepala, dia mengumpat pelan. Maksud gue, gue enggak kenal sama si Yosan itu.

“Gue Bagas,” iya gue tau, “sepupu Lea.”

Hah? Gue baru ta—

“Kalo Yosan itu mantannya Lea.” Lanjutannya buat gue tercengang.

Kok bisa gue enggak tau? Kayaknya gue kurang memahami Lea deh, makanya gue merasa hampa banget. Bukan hampa yang itu tapi hampa dalam artian kayak, “Lea tau banyak hal tentang gue. Tapi kenapa gue enggak tau apapun soal dia?” gitu.

TBC.

A/n : Minal Aidzin Wal Faidzin Teman-teman🙏

Sudut Pandang ✔Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin