Ch. 12

309 68 11
                                    

Juan

اوووه! هذه الصورة لا تتبع إرشادات المحتوى الخاصة بنا. لمتابعة النشر، يرجى إزالتها أو تحميل صورة أخرى.

Juan

Pulang telat lagi tapi bukan karena rapat OSIS, melainkan ditahan oleh Pak Agung. Beruntung gue enggak sendiri, ada Jourrel dan Reval juga. Kata beliau, kita di sini sebagai teman dekat Noah.

Beruntung juga, enggak ada janji bareng Lea. Bisa-bisa dia kecewa lagi karena gue enggak bisa antar pulang. Dewi Fortuna baik banget mau memihak gue sekarang, biasanya enggak mau.

Tatapan mata berwibawa Pak Agung hilang digantikan tatapan curiga. Mungkin ia pikir kita bertiga memusuhi Noah seperti gaya anak SD, berkelompok untuk memusuhi salah seorang. “Kalian enggak tau?” tanya Pak Agung memastikan, kami mengangguk.

Memang, di antara kita bertiga enggak ada yang tau Noah tertimpa masalah apa sampai nekat membolos seperti ini. Karena sebonyok apapun wajah Noah, dia tidak pernah membolos. Noah pernah berangkat sekolah dengan wajah babak belur karena tawuran, tidak boleh ditiru.

“Oh!” seru Reval. Satu ruangan BK melirik dia sinis, bahkan Bu Nindy yang sedang hamil muda mengusap perut sambil berkata, amit-amit jabang bayi. “Kalau ada masalah sama pacarnya, itu masuk akal enggak, sih?”

“Bisa jadi,” jawab Pak Agung. Membenarkan posisi duduk, sedikit mendekat ke arah meja, lalu menumpu dagu dengan kedua tangan—khas orang kaya. “Memangnya Noah sama pacarnya sedang bertengkar hebat?”

Aduh, kok tiba-tiba perasaan gue enggak enak banget, nih. Jangan-jangan si Adam, anak tetangga, ambil bunga-bunga koleksi gue yang ada di depan rumah. Atau Lea nyasar di larikan rak buku?

“Bukan bertengkar, Pak. Tapi sedang merenggang karena katanya Noah ketahuan selingkuh,” ucap Jourrel. “Gosipnya sudah menyebar, Pak. Saya saja kaget. Antara kaget dan tidak percaya kalau teman saya selingkuh. Itu mustahil sih, Pak. Saya inget dari dulu sampai sekarang dia masih bucin pacarnya.”

“Loh, bisa begitu?” Pak Agung mengangguk lagi mendengar ocehan Jourrel. Masih ada saja yang mau mendengarkan ocehannya.

Eh. Ini ... kenapa jadi ajang bergosip, sih?

Pak Agung menatap gue. “Kamu kalau ada masalah sama pacar, bolos juga, Juan?” Pertanyaan macam apa ini? 'Kan gue ke sini bukan buat konseling.

“Loh, kok, saya?” tanya gue balik. Bingung. Enggak dijawab nanti dikira enggak punya sopan dan santun percuma disekolahkan sampai SMA.

“Ya, saya tanya kamu aja yang ada pacar.” Gue lihat Reval dan Jourrel yang memalingkan wajah sebal mereka. “Mereka 'kan enggak ada pacar. Jadi enggak tau rasanya bertengkar sama pacar.”

“Tergantung orangnya, Pak. Kalau saya pribadi, sih, paling cuma diem-dieman,” jawab gue. Kisah nyata.

“Iya, diem-dieman sampai geng pacarnya hampir melancarkan aksi kudeta. Beruntung dong punya teman yang konseksinya seluas jaringan telkom kaya gue.” Hm. Sindir saja terus, gue kebal kok. Ada gunanya juga gue dimaki tiap hari, hati gue jadi kebal gini.

“Seram juga pacar kamu.” Pak Agung mengusap lengan seakan merinding.

Sudah. Kamera mana? Gue menyerah kalau harus berlama-lama di ruang BK. Gue mau balik, udah sore. Tapi begitu diperhatikan ada yang salah dengan kalimat Pak Agung. “Kok, jadi pacar saya yang serem?”


Setelah semua kesepakatan dibuat bersama, tentang Noah, akhirnya gue pulang juga. Dengan kemurahan hati Pak Agung, ponsel Noah tidak jadi disita. Syaratnya, Noah harus menghadap Pak Agung dan wali kelas esok hari.

Lagipula, mungkin hanya Noah yang membolos tapi lupa membawa ponsel—atau mungkin sengaja. Suka hati dia saja, mungkin juga ponsel yang buat dia frustasi makanya ditinggalkan.

Terima kasih juga untuk Reval dan Jourrel yang bersedia membawakan barang-barang Noah. Jadi, gue enggak perlu diberatkan dengan barang tersebut. Walau kenyataan tas Noah enggak terlalu berat.

Noah, lo ke mana sih? Heran gue.

“Katanya enggak ada rapat. Kok, pulangnya telat?” tanya mama begitu gue datang menghampiri.

Huhu. Beneran bunga koleksi gue hilang dong. Firasat gue selalu benar. Semoga bukan dengan firasat yang Lea kesasar di antara rak-rak buku, 'kan enggak lucu.

Gue langsung meraih tangan mama dan mencium punggung tangannya, sebagai anak yang baik. “Ditahan BK, Ma,” jawab gue. Sebelum mama bertanya, gue sudah terlebih dahulu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada pada sorot matanya. “Juan dimintain tolong guru BK, Ma. Suruh jadi perwakilan kelas tentang Noah.”

“Eh, Noah kenapa?” Mama memekik.

“Bolos, Ma.”

Mama tampak terkejut dengan penuturan gue. Beliau sangat tau Noah, sama seperti gue. Bahkan, kedua orang tua kita sudah akrab. Jelas Mama terkejut, Noah bukan lagi orang asing di keluarga kita. “Sakit kali, cuma Noah main pergi aja, jadi enggak ada yang tau,” kata Mama.

Mungkin aja. Dengan tas beserta ponsel yang tertinggal di kelas, ini bisa jadi salah satu petunjuk. Kenapa juga gue enggak kepikiran ini dari tadi? Ah, mungkin gara-gara terdistraksi omongan Reval dan Jourrel tentang kisah cinta Noah.

“Nanti coba kamu datang ke rumahnya, ya!” pinta mama.

Gue hanya mengangguk setuju lalu pamit masuk terlebih dahulu. Sampai di ruang tamu, gue dibuat penasaran dengan keberadaan sebuah paper bag. Kira-kira isinya apa, ya?

TBC.

A/n : Double up🐳

Sudut Pandang ✔حيث تعيش القصص. اكتشف الآن