Ch. 15

293 59 2
                                    

Lea

Йой! Нажаль, це зображення не відповідає нашим правилам. Щоб продовжити публікацію, будь ласка, видаліть його або завантажте інше.

Lea

Yosan meneleponku. Aneh. Apa dia bertengkar dengan Noah atau Noah kabur. Yang terpenting sekarang ia harus mengangkat panggilan Yosan.

Yosan langsung berkata setelah panggilannya aku jawab. “Lea tolong kasih tau Ju—” ucapannya terpotong oleh suara lain.

Jangan!” Suara lain yang aku yakini sebagai suara Noah terdengar. Sedikit berteriak, membuat telingaku sakit.

Aku mencoba merebahkan diri agar bisa berpikir jernih saat ini. Tidak merugikan pihak Noah, Yosan maupun Juan nantinya.

“Lea, kamu enggak kasihan bayangin Juan sama temen kelasnya sekarang lagi gimana ributnya?” Benar. Jika aku menutupi ini kasihan Juan dan teman-teman kelasnya yang berusaha mencari Noah.

Aku merasa serba salah sekarang, meskipun begitu tidak bisa kubayangkan Juan tengah seberapa panik kehilangan jejak salah satu teman dekatnya. Sungguh, jika bertemu dengan Noah di kemudian waktu aku akan meminta maaf sebesar-besarnya. Kuputus sambungan telepon Yosan dan beralih menghubungi Juan.

Tapi nomornya sibuk, pasti dia sedang berusaha menghubungi teman yang lain. Maka dari itu kukirimkan saja pesan, berharap agar dia segera membacanya. Tidak perlu waktu lama, Juan membacanya.

Juan : Kamu tau di mana dia?
Juan : Aku ke rumah kamu sekarang


“Lo enggak harus sampai bikin orang tua khawatir, Noah!” omel Jourrel. Tidak sadar kalau suara nyaringnya membuat kami menjadi pusat perhatian pengunjung kafe. “Bolos. Pulang ke rumah dan bawa ponsel lo! Itu aja. Enggak susah, berat atau bikin lelah.”

Aku menghembuskan napas berat. Hendak turut berbicara tapi Juan selalu menahanku. Jujur, aku tidak tega melihat Noah terus menunduk seperti itu. Seperti itu juga aku tulus menganggapnya teman.

“Udah, Rel.” Akhirnya Juan membuka suara, mungkin dia juga sudah mulai risih diperhatikannya banyak orang. Ia menatap Noah dengan tatapan yang jarang kulihat. Datar. “Kita dengerin cerita Noah dulu.”

Noah yang awalnya hanya menundukkan kepala kini mulai menatapku. Entah apa arti tatapan itu, sepertinya dia marah. Padahal aku sudah meminta maaf padanya tadi.

“Maaf juga, Lea.” Satu kalimat yang membuatku makin bingung. Apa yang harus kumaafkan? 'Kan aku yang bersalah di sini, ikut menyembunyikannya karena tidak sengaja bertemu di sebuah kedai kopi.

“Buat apa?” tanya Jourrel penuh selidik. Jika aku kenal dekat dengannya, ia sudah menjadi korban pelemparan ponselku. Aku sebal melihat wajahnya.

“Banyak yang bilang ke pacar gue kalau lo selingkuhan gue,” ungkapnya. “Gue ... cuma mau meluruskan itu.”

Tunggu. Apa maksud dari perkataan Noah. Seseorang tolong jelaskan. Masih belum paham dengan keadaan yang ada, aku mencoba bertanya lewat tatapan pada Noah. Menuntut pemuda itu bercerita lebih rinci.

“Jadi, selama ini mereka pikir lo selingkuh sama pacar gue? Padahal enggak.” Kini Juan mulai menanggapi lebih. Dia sedikit menghalangiku untuk mengorek informasi. “Kenapa lo enggak bilang ke gue? Gue juga bisa bantu. Lea pacar gue, lo temen gue.”

“Masalahnya, gue baru tau kalau Lea itu pacar lo tadi, Yosan yang bilang.” Noah kembali menundukkan kepala, sebelumnya tampak kesedihan di wajahnya.

Sudah berapa kali aku menghembuskan napas berat, lelah. Aku masih tidak paham apa hubungannya Noah dituduh selingkuh denganku hingga bolos sekolah. Rasa bersalah makin membesar di pikiranku. Dia seharusnya marah padaku 'kan?

“Jujur, Wan, gue suka lihat wajah cantik Lea. Dia ngingetin gue ke Kakak, lo tau sendiri. Maka dari itu gue ingin berteman sama Lea.” Sebuah pengakuan dari Noah membuat kita serentak menatapnya. “Gue bela-belain bolos cuma buat jelasin itu ke dia. Tapi yang gue harapkan enggak terjadi, dia enggak datang. Gue enggak segila itu buat lepas dia setelah perjuangan selama ini.”

***

Aku melangkah di koridor yang sedikit ramai pagi ini, ucapan Noah semalam terus menghantui pikiranku. Apa itu juga berlaku pada Yosan dulu? Kalau iya, berati aku telah membuatnya sedih selama ini. Walaupun aku sudah meyakinkan diri bahwa kita mengakhiri hubungan dengan baik dan disetujui kedua belah pihak.

Atau selama ini hanya aku yang memutuskan?

“Bagaimana ini?” gumamku. Yosan yang sekarang adalah temanku, yang mau saja direpotkan olehku. Masalah Juan, dia yang menjadi tempatku bercerita. Dan kemarin, saat Noah butuh tempat berteduh, Yosan juga yang mau membantu menolong Noah. “Dia terlalu baik, aku pasti membuatnya sedih.”

“Lea,” panggil Yolanda saat aku masuk ke dalam kelas. Mata indahnya menyipit lucu. Tapi aku benar-benar tidak mood untuk memuji keindahan itu saat ini. “Tumben baru berangkat? Sama Juan, ya?”

Aku menggeleng dan melenggang pergi dari tempatnya berdiri. Mungkin sikapku pagi ini membuat Yola bertanya-tanya sampai terus mengikutiku menuju kursi. Bahkan rela mengusir Hanan—pemuda yang duduk di depanku—untuk terus mengawasi pergerakanku.

“Kamu kenapa, sih?” bisik Yola, “Ada masalah sama Juan?” Mungkin semua akan menganggap seperti itu. Padahal aku sedang ada masalah dengan diriku sendiri.

Tapi membuat dia khawatir bukanlah pilihan yang tepat. “Enggak ada, Yola. Cuma kepikiran beberapa hal aja.” Ya, beberapa hal yang mengganggu pikiranku dari kemarin. Yang membuatku merasa jadi makhluk tersalah kaprah.

Yola tersenyum senang mendengarnya, bahkan sampai matanya lagi-lagi menyipit lucu. Oh, kalau di hari-hari biasa aku akan menatap sampai puas mata Yola bahkan bisa saja mengambil gambarnya untuk koleksi. Tapi tidak untuk hari ini. “Syukurlah. Pokoknya kalau ada masalah, apapun, kamu harus cerita ke aku, ya!”

Maaf, Yola, untuk kali ini aku enggak mau cerita dulu. Menunggu waktu yang pas. Ah, bukan menunggu tapi mencari waktu yang tepat. Karena menunggu terlalu abstrak.

Sudut Pandang ✔Where stories live. Discover now