Ch. 11

341 67 23
                                    

Juan

Oops! Ang larawang ito ay hindi sumusunod sa aming mga alituntunin sa nilalaman. Upang magpatuloy sa pag-publish, subukan itong alisin o mag-upload ng bago.

Juan

Kalau tau bakal begini kejadiannya, gue menyesal sudah mengenal seorang Bagaskaradewa. Bukannya menjadi jembatan penghubung antara gue dan Lea, dia malah ember ke banyak orang kalau gue bucin saudari sepupunya. Sejak kejadian malam itu pula gue jadi sering tersipu malu jika bertemu Lea.

“Wan, tadi gue ketemu Bagas, ” tutur Jourrel yang ternyata juga partner Bagas dalam mengolok gue. “Katanya, Lea lagi sama Mas Mantan,” tambahnya. Baru saja.

Gue hembuskan napas pelan, mencoba untuk tidak tersulut ucapan Jourrel. “Memang kenapa?” Mungkin kalau bukan gue yang diledekin gini, udah babak belur si Jourrel.

Ia menyeringai. “Hehe, enggak ada apa-apa, sih. Cuma lapor.” Sabar! Dia hanya mencoba memancing amarah lo, Juan. Kalo lo gentleman kudu sabar menghadapi teman macam ini.

Mungkin menggeleng maklum untuk Jourrel ke depannya akan menjadi hobi gue. Dia pikir persekutuannya dengan Bagas bisa membuat gue terpancing untuk menghajar Yosan, mantan Lea, karena sering bersama.

Sabar, sabar! Atau jangan sampai terpancing omongannya, selalu jadi makanan gue tiap hari kalau berhadapan sama Jourrel atau Bagas.

Juan mengusap dada, mengambil dan membuang napas teratur. “Tuhan, salah apa hamba di masa lalu? Sampai-sampai punya teman tukang gosip gin—”

“Gosip?” pekik Jourrel menghentikan gerutuan gue. Jourrel mendekatkan kursinya ke arah meja gue dengan sok misterius. “Eh, lo udah tau gosip terbaru tentang Noah?” Padahal Noah itu temennya sendiri tapi masih aja digosipin, dasar Jourrel.

“Ada yang ngaduin ke ceweknya kalau Noah sering ketemuan sama cewek lain di depan minimarket. Gosipnya sih, Noah selingkuh.” Dengan nada yang sedikit berbisik dan jarak yang sangat dekat dengan gue, Jourrel berkata, “Hubungan mereka renggang banget sekarang.”

Minimarket? Enggak elit banget, ya, Noah kalau milih tempat selingkuh. Eh, astaga, gue ikut ngebatin tentang Noah.

“Juan. Kamu hari ini ada rapat OSIS?” tanya Lea. Pertanyaan ini jarang terucap dari Mama tapi sering dari Lea. Bukan posesif, kok, cuma mau memastikan. Beda, ya.

Gue membuat gerakan seolah sedang mengingat walau pada kenyataannya memang sudah ingat. Menggeleng sebagai jawaban, setelah makanan tertelan barulah gue berucap, “Enggak. Pulang bareng, 'kan?” Sudah lama juga enggak pulang bareng. Kegiatan di OSIS lagi padat banget, dapat renggang hari ini.

Lalu gelengan juga terlihat pada Lea. “Hari ini enggak bisa, aku mau nganter temen ke toko buku. Boleh, 'kan?” tanya gadis itu balik. Iya, izin orang tua harus paling pertama, kedua pasangan—kalau ada. Barulah acara berpergian tidak menimbulkan dampak buruk.

Kenapa gue harus melarang kalau tujuannya baik. Gue tatap matanya sekilas lalu melirik sekitar, beruntung tidak menemukan keberadaan Yosan. “Siapa? Yosan?”

Gadis di hadapan gue itu menggeleng lalu tersenyum samar. “Bukan Yosan, kok.”

“Aku enggak masalah kamu nganterin siapa, bahkan cowok sekali pun. Asal kalau yang kamu antar itu cowok, kamu harus hati-hati.” Pesan gue. Baik, 'kan gue? Iyalah, Juan yang perhatian gitu. Kata Lea gitu.

Dia tersenyum lebar sampai matanya menyipit gemas lalu mengangguk setuju. Jangan ikut senyum! Kalau lo senyum; lo kalah, Juan.

Setelahnya, kita berdua sama-sama fokus menghabiskan makanan, walau sesekali tetap membicarakan hal yang tidak penting. Sampai bel tanda istirahat akan segera usai, kita bersiap untuk kembali ke kelas masing-masing. Dia dengan Yolanda dan gue bareng Jourrel.

Sesampainya di  kelas, ternyata kelas sudah ramai. Mata pelajaran kali ini bakal diganti dengan materi dari guru BK. Yang gue herankan adalah kenapa saat penyampaian materi dari BK atau PD selalu menarik banyak peminat, bahkan mata mereka memancarkan antusiasme yang besar.

Tetapi masih saja melakukan tindakan tidak terpuji yang bakal berurusan dengan BK dan PD. Seperti membolos, berkata kasar, berkelahi, merokok dan masih banyak lagi.

“Siapa yang bakal masuk, Val?” tanya gue pada Reval yang masih fokus membaca e-comic di ponselnya. Terdengar decakan kesal pelan dari pemuda itu sampai pada akhirnya mengalihkan pandangan dari ponselnya.

Ia menghentikan kegiatan membacanya lalu balik bertanya, “Hah? Apanya yang siapa? Pemateri?” Gue jawab dengan anggukan. “Pak Agung, kayaknya.”

Pantas semua tampak sudah sangat siap dengan materi BK kali ini, rupanya karena Pak Agung yang akan membawakan materi kali ini. Ya, tentu saja semangat. Siapa yang tidak tergiur hadiah ucapan terima kasih karena sudah mengikuti jam dari keturunan ketiga keluarga kaya tujuh turunan itu?

Tentu, tidak ada.

Baru saja terlintas di pikiran. Sekarang, guru itu masuk ke dalam kelas dengan senyum lebar, jangan lupakan lesung pipi yang menyertainya. Menyilaukan. Hm, lain kali gue harus tanya apa rahasianya bisa awet muda.

Ia melihat arloji mahal edisi terbatas—merk terkenal—lalu kembali menatap ke penjuru kelas. “Karena belum pukul sepuluh. Jadi, selamat pagi anak-anak.”

“Pagi juga, Pak,” jawab kami serentak. Entah cuma perasaan gue atau memang bener, mereka jawab salam Pak Agung terlalu semangat, sampai telinga gue pengang.

“Hari ini, siapa yang tidak hadir?” tanyanya pada siapapun yang mau menjawab. Tapi biasanya sih, tugas sekretaris dan ketua kelas.

“Nihil, Pak.” Jawaban dari sekertaris kelas membuat Pak Agung memiringkan kepala. Menatap heran ke arah sebuah kursi.

“Nihil? Tapi itu kursinya Noah kosong, astaghfirullah.” Orang kaya tapi humornya anjlok banget. Kenapa harus pakai iklan Shinta Mall? Padahal gue lebih suka belanja di Nobitamart, yang deket sama rumah.

Gue baru menyadari jika Noah tidak ada di kelas. Seserius itu renggangnya hubungan mereka sekarang, sampai rela membolos?

Kenapa juga Noah harus sepenutup itu? Gue merasa gagal jadi teman kalau dia enggak mau menceritakan apapun, padahal gue selalu lari ke dia kalau ada masalah.

Diam-diam gue mencoba menelepon Noah saat Pak Agung mulai disibukkan dengan ocehan siswa yang duduk paling depan perihal materi yang ingin ia dapat dari guru konseling. Jangankan diangkat, baru menyambung saja sudah ketahuan ponselnya tidak dibawa. Juan melihat ponsel Noah di laci menyala. “Demi apa? Sampai ponsel aja ditinggal.”

TBC.

A/n : Hallo, apa kabar?

Sudut Pandang ✔Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon