Ch. 5

598 110 16
                                    

Lea

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Lea

Rasanya baru kemarin Juan minta maaf, sekarang udah balik lagi. Cuek, menjauh, sembunyi, dan menghindar. Dia enggak selingkuh, 'kan?

Belakangan ini dia bener-bener enggak mau berurusan sama aku dulu. Apa kau juga harus bisa terima gitu aja dengan keadaan ini? Ikuti arusnya sampai hilir.

Aku itu mikir apa, sih? Kalau terus bersikap seperti ini kesannya aku posesif, nanti Juan enggak nyaman. Kalau pura-pura enggak tau, takutnya disalahin enggak pernah memperhatikan. Serba salah.

Ya ampun, capek.

Aku perhatikan pemuda yang tengah menelepon seseorang di dekatku ini sedang tidak bisa diganggu gugat. Raut wajahnya memperlihatkan penyesalan, sedih. Walau sesekali melirikku.

Setelah panggilan teleponnya terputus, ia memperlihatkan wajah lebih menyesal. “Lea, sorry enggak bisa nebengin lo buat hari ini,” jelasnya.

Terus aku harus apa kalau gagal ditebengin? Nangis-nangis? Atau ikut-ikutan wajah menyesal ala pemuda itu. “Enggak apa, Sa. Lo anter Kakak lo aja dulu.”

“Serius? Terus lo balik sama siapa? Pacar lo atau sama Bagas?” tanya Aksa. Dia tampak masih belum ingin melangkah pergi meninggalkanku.

Aku menipiskan bibir sambil berpikir. “Kayaknya Bagas enggak bisa deh. Nanti gue hubungi Juan, deh, lo anter Kakak lo aja.” Aku tersenyum. Mungkin lama-lama orang akan paham jurus andalanku ini, tersenyum di saat apapun. Seperti orang gila.

Aksa menghela napas pelan lalu mengangguk. “Ya udah, deh. Nanti kalau pacar lo enggak bisa anter, telepon gue aja!”

Sebenarnya aku bisa saja pulang dengan menggunakan kendaraan umum, seperti bus, lagipula bus akan berhenti beroperasi di dini hari.

“Siap!” Setelah Aksa pergi, aku mencoba menghubungi Juan yang tak butuh waktu lama langsung menjawab panggilanku.

***

Aku termenung di sini, di depan minimarket. Seorang di sebelah terus-menerus mengajakku berbicara namun kuabaikan. Tadi, dia sempat menawarkan diri untuk mengantarku sebelum hujan turun terlalu deras, namun aku bersikeras menolak.

Aku harus tetap was-was pada orang yang tidak kukenal—meskipun dia satu almamater dengaku. Setidaknya itu yang bisa kutangkap dari jas almamater yang dikenakannya.

Hujan turun semakin deras disertai dengan kilat seakan tidak membiarkan siapapun untuk masih melanjutkan perjalanan. Mungkin aku benar-benar tidak beruntung hari ini. Pulang sendiri, tidak ada bus, ponselku kehabisan daya, hujan deras—ah uang sakuku masih ada sisa. Lumayan.

Sudut Pandang ✔Where stories live. Discover now