Ch. 2

1.1K 174 72
                                    

Lea

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Lea

“Enggak apa, cuma mau tau Juan enggak kecapekan 'kan?”

Aku mendengar dengkusannya. Membuatku terkejut serta kecewa. “Aku bukan anak kecil, Lea. Aku tau batasan diri,” ucapnya dari seberang sana. “Kamu harus khawatir diri kamu sendiri,” imbuhnya.

Kenapa aku sedikit tidak terima dengan ucapannya? “Juan, kam—”

Lagi, dia mendengkus. “Aku tau kamu hampir gagal tampil karena maksain diri latihan nyanyi. Tenggorokan kamu ... sakit, 'kan?”

Aku berdeham. Sungguh, aku tidak tau akan seperti itu kejadiannya. Jika sudah di rumah aku terbiasa menyanyi bahkan sampai ditegur ayah karena lagi-lagi bernyanyi. Tidak pernah sampai tenggorokan sakit hingga suaraku hampir tidak mau keluar.

Juan tau. Jika sudah seperti ini mungkin dia akan melarangku untuk bernyanyi sementara.

“Sekarang kamu enggak perlu khawatirin aku dulu. Kamu turutin kata-kataku! Ambil air minum terus siap-siap buat istirahat.”

Keadaan kelas gaduh. Bahkan, sangat gaduh hingga beberapa siswa dari kelas lain bergilir datang hanya untuk menegur kami yang berujung sia-sia. Padahal hanya memilih ketua kelas tanpa wali kelas, gaduhnya sudah seperti ada demo di depan gedung DPR.

“Gue enggak mau jadi ketua kelas lagi!” seru Yola. Dia tegas selama menjabat sebagai ketua kelas satu semester terakhir, membuat beberapa siswa kompak memilih Yola sebagai ketua kelas lagi. “Big no! Gue males berurusan sama guru BK gara-gara teman biadab macam kalian.”

Yolanda Beatrice Harahap atau biasa dipanggil Yola itu teman dekatku. Orang-orang bilang Yola dan aku itu the real friendship goals, kita sering bertengkar namun tak lama akan kembali tertawa bersama lagi. Jangankan melihat tumpukan koleksi barang couple, tidak sengaja mengucapkan kata yang sama bersamaan saja sudah menjadi santapan anak kelas setiap hari.

Yola menggeram tidak terima keluhannya tidak didengar. “Lea, bela gue!” teriaknya memanggil namaku dengan frustasi.

“Pembelaan tidak akan didengar!” seru yang lainnya.

“Memang biadab kalian semua,” gerutu Yola. Dia sudah mencak-mencak di depan sana tanpa seorang pun mau mendengarkannya.

Aku tersenyum menanggapi candaan mereka. Lantas kembali menyalin catatan Yola—yang terlalu rajin, padahal guru mapel baru menerangkan skema materi untuk ke depannya.

Entah apa yang dilakukan Yola di depan sana. Tapi setelah itu dia berjingkrak-jingkrak, sangat kegirangan. “Yes! Congratulation, Bona! Guys, ketua kelas kita di semester ini Bona,” ungkap Yola dengan bangga menyeret Bona ke depan kelas. “Semangat, ya, Bona Rawnie!”

“Sekarang gue bebas milih wakil, 'kan?” tanya Bona. Pertanyaan sederhana yang membuat kelas senyap, sama seperti saat Yola berkoar dulu dan berakhir memilihku sebagai wakilnya.

“Donna,” lanjut Bona membuat kelas kembali gaduh, “Lo bisa pilihin wakil buat gue.” Seruan tidak setuju terdengar dari setiap mulut—terkecuali aku, Yola, Bona dan Donna.

Biarlah, aku tidak ingin peduli lagi.

“Lea,” panggil Yola dari depan kelas. “Dicariin Juan, tuh.”

Aku melihat ke arah jendela, ada Juan di sana tengah memperhatikanku. Aku beralih memandang sekitar, beruntung mereka tidak menaruh banyak peduli. Sampai Juan mengetuk jendela dan mengisyaratkan aku untuk keluar.

Yolanda memberiku izin—karena Bona belum dilantik menjadi ketua kelas—untuk keluar menemui Juan. Dia belum kuberitahu tentang perasaan aneh yang menghantuiku akhir-akhir ini. Pasti dia mengira Juan akan melakukan hal manis.

“Lea, maafin aku semalam. Serius, aku enggak maksud buat kamu bingung. Tapi, aku beneran khawatir sama keadaanmu akhir-akhir ini. ” Aku senang mendengar penjelasan dan keluhannya. Tapi, rasanya tetap saja berbeda.

“Eh, kamu enggak salah, Juan. Kenapa juga harus minta maaf? Aku yang seharusnya minta maaf, 'kan?” Aku menarik napas sejenak. “Maaf udah buat kamu khawatir.”

Juan menggeleng penuh sesal. “Coba aja aku enggak kebawa emosi kemarin, mungkin aku enggak bakal buat kamu sedih.”

Sedih? Juan tau aku sedih.

Kemudian Juan menceritakan asal mula ia tau aku hampir kehilangan suaraku dari Yola, hingga masalah aku yang tengah bersedih. Dia bilang itu hasil curi dengar obrolan kedua pemuda yang tidak dikenalnya.

Lucu. Pemuda lain lebih tau daripada Juan yang notabenenya adalah pacarku. Well, siapa pun itu, aku sangat berterima kasih karena sudah menyadarkan Juan.

“Mulai sekarang, kalau ada perbuatanku yang bikin kamu kecewa langsung bilang aja, ya! Selama ini aku baru tau kalau kamu sensitif sama ucapan orang-orang,” ucap Juan.

Haruskah aku mengatakan pada Juan kalau aku sudah mulai sensitif dengan topik ini? Yah, kurasa tidak perlu. Mungkin juga ini yang membuat Juan membuat jarak denganku.

Lalu aku menyadari sesuatu. Salah satu temanku tadi izin untuk keperluan OSIS tapi kenapa Juan ada di sini? “Juan, kamu enggak bolos OSIS cuma buat bilang ini, 'kan? Kamu bisa bilang nanti.”

“Aku enggak bolos, Lea. Aku izin tadi, soalnya nanti aku enggak bisa pulang bareng lagi sama kamu. Aku harus rapat lagi, makanya aku ke sini temuin kamu.”

Senyuman itu tulus. Tidak seharusnya aku berburuk sangka seperti ini.



***


Yolanda Beatrice Harahap

A/n : Adakah yang tidak puasa?😂

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


A/n : Adakah yang tidak puasa?😂

Sudut Pandang ✔Where stories live. Discover now