Jati diri

380 65 7
                                    

"WOW!!! Lo tau? Ini hari terbaik yang pernah gue alami dikehidupan ini bang." Alcan sangat bersemangat.

Dia membuat Jeas tersenyum lebar. Ini mungkin bukan hal yang bisa dibayangkan oleh siapapun, melihat semasa hidup Kirana yang sangat dekat dengan Alcantara, Alcantara bisa terlihat bahagia diwaktu dia belum lama ditinggalkan Kirana.

"Lo benaran udah baik baik aja. Gue bersyukur atas itu." Jeas membalas.

"Gue udah habisin kesedihan gue tadi malam. Gue gak akan lupa mamih. Gue akan hidup dengan baik untuk buat mamih bahagia juga disana."

Jeas mengacak acak rambut Alcan. Dia terlihat sangat bangga. Tampak seperti kakak yang melihat adiknya berhasil dalam suatu hal. Itu sangat indah dilihat.

"Ini. Gue berhasil dapetin jaket pemberian lo lagi. Lo gausah jadiin ini alesan untuk lo marah marahin gue yah! Gue bakal jaga hadiah lo ini." Alcan menyimpan paper bag berisi jaket itu diatas sofa.

Dia juga membantingkan tubuhnya diatas sana, hari yang bahagia ini sedikit menguras tenaganya. Ditambah semalam Alcan tidak tidur tepat waktu, jadi keinginannya untuk bermalas malasan semakin besar.

Jeas beranjak dari sofa saat bel rumah berbunyi. Dia sedari pagi disini, tidak ikut Alcan kerumah sakit karena sibuk dengan perintah Alcan yang lain. Tidak ada tamu sebelumnya meskipun berita Kirana telah menyebar, itu karena tidak ada yang tahu Alcan tinggal dimata setelah keluar dari rumah utama. Para reporter kini malah berkumpul dirumah Aditya. Seharusnya yang datang saat ini adalah orang terdekat Alcan.

Jeas melihat monitor disebuah tembok sebelum membuka pintu. Ada lima orang laki laki yang datang. Salah satunya terasa familiar namun Jeas tidak ingat.

"Maaf. Ada keperluan apa?" Jeas tidak membuka pintunya, dia berbicara didepan monitor sambil menekan sebuah tombol. Suaranya bisa terdengar diluarsana.

Seorang yang terasa familiar itu terlihat berbicara namun dia tidak menekan tombol, suaranya tidak bisa Jeas dengar. Namun satu orang disebelahnya tiba tiba berbicara, dia menerjemahkan ucapan dari orang yang terlihat seperti tuannya kedalam bahasa Inggris.

Jeas menyuruh orang orang itu untuk menunggu. Apa yang dikatakan orang itu terdengar tidak masuk akal. Bagaimana mungkin laki laki tua itu teman pemilik unit ini? Maksudnya dia teman Alcan?

"Can. Lo bikin masalah apa sama orang orang China didepan sana? Gue gak punya tim untuk lawan mereka kalo sampe mereka maksa masuk." Jeas berbicara saat sampai diruang tamu.

Alcan sedang berbaring dan memejamkan matanya. Saat suara Jeas terdengar, Alcan langsung membuka mata dan berlari kearah pintu utama.

"Jangan buka pintunya!" Jeas berteriak namun terlambat. Alcan tanpa rasa takut membukakan pintu untuk orang asing diluar sana.

Jeas berlari, dia mengambil sebuah pistol yang tergeletak diatas meja sebelum menyusul Alcantara. Pistol itu selalu ada bersamanya. Jeas tidak tahu keadaan seperti apa yang akan dihadapinya bersama Alcan.

"Chen?"

Alcan memanggil. Di depannya kini ada dua orang laki laki tinggi kekar yang menghalangi seorang lelaki tua di belakangnya. Jeas juga tiba tiba bediri didepan Alcan. Dia juga berjaga, itu tugas para bodyguard.

"Nǐ hǎo!"

Itu benar benar Chen. Dia merangsek bergerak kedepan, menyingkirkan dua bodyguardnya yang menghalangi pandangan Chen untuk melihat Alcan.

Jeas tidak beranjak. Dia tetap berdiri tegak menjadi penghalang terakhir.

"Fank, lo gak nyuruh bodyguard lo minggir?" Chen berbicara dalam bahasa mandarin.

ALCANTARAWhere stories live. Discover now