part 60

7K 191 0
                                    

sambil memegang tiket pesawat, Ariana mencari tempat duduk miliknya di kelas ekonomi. Suara riuh tawa maupun tangisan bayi terdengar di setiap sudut pesawat. Baru kali ini Ariana menaiki pesawat kelas ekonomi, karena sisa uangnya yang tidak memungkinkan. Beberapa kali juga, ia menyerngit dan tersenyum masam saat berjalan mencari tempat duduknya.

Mungkin ada lima menit celingukan mencari tempat duduknya, akhirnya ia menemukannya juga. Ia langsung terduduk, mengabaikan pria di sampingnya yang sedang menatap keluar jendela pesawat dengan sebuah headphone hitam melingkar di kepalanya.

Ariana mendesah sambil mengambil ponselnya yang bergetar di dalam saku celana. Saat melihat nama yang tertera di layar ponsel, wajahnya merengut kesal.

Buat apa Joe menelponku? Tanpa mengangkatnya, Ariana menekan layar merah dan kembali menyimpan ponselnya ke dalam saku. Ia juga terus bergerutu kesal sambil mengacak acak rambutnya yang tergerai.

Mungkin pria yang ada di samping Ariana merasakan pergerakannya, ia menoleh ke arah Ariana. Dan seketika saja ia tersentak dengan mata yang membulat lebar.

"Ariana?!" desis pria itu tidak percaya.

"eh?" merasa terpanggil, Ariana menoleh. Dan ekspresi pertama yang di tunjukan sama seperti pria itu. Terkejut. Satu tangannya ia simpan di depan dada saat rasa nyeri itu datang lagi. "Justin?"





"Justin?"

melihat Justin lagi, Ariana tiba-tiba sulit bernafas. Degup jantungnya mulai menderu tak beraturan. Membuat dadanya yang sudah sesak, bertambah sesak. Nyeri. Rasa itu datang lagi dan kini rasanya begitu dalam. Tangannya menggenggam erat pegangan kursi pesawat. Menahan letupan emosi yang bercampur aduk di dalam dirinya. Ia mengerjapkan matanya, setelah ia merasakan banyak debu yang bersinggah disana.

Ya Tuhan...

Di hadapannya, Justin terlihat terkejut. Juga gugup. Ia menurunkan earphonenya hingga melingkar di lehernya. Rasanya ia tak menentu saat ini. Senang. Gugup. Dan Takut.

Senang karena ia bisa bertatap muka lagi dengan Ariana.

Gugup karena ia bingung apa yang akan dia lakukan setelah lama tak bertemu.

Dan takut karena Ariana akan mengatakan kata benci lagi padanya. Ia tidak mau mendengarnya lagi. Ia sudah cukup mendengarnya saat malam natal itu. Membayangkan Ariana mengatakan benci saja, Justin sudah seperti orang gila.

Justin memaksakan senyuman yang mungkin terlihat aneh di depan Ariana. "ya i-ini aku. Justin"

Ariana terdiam. Ia masih terlihat tegang sambil terus mencengkram lengan kursi pesawat. Tapi akhirnya ia mendesah dan menopang kepalanya hingga Justin tidak bisa melihat wajahnya yang tertutup rambut merahnya yang tergerai. Kenapa aku harus bertemu dengannya sekarang? Aku bingung..

Desah Ariana di benaknya. "mmh.. Justin?" panggilnya masih dalam posisi semula.

Justin berdeham. "ya?"

Ariana mendongak menatap wajah Justin yang terlihat gugup. "maafkan aku" mulai Ariana dengan suara bergetar. Kening Justin berkerut. "maksudku, maafkan perbuatan ayahku pada keluargamu. Apa bisa aku mewakili ayahku untuk meminta maaf?"

raut wajah Justin berubah. Awalnya ia terlihat gugup. Namun setelah Ariana berkata seperti itu, guncangan tubuhnya karena gugup, seketika saja berhenti. Ia kembali menyandarkan punggungnya pada kursi dan menatap keluar jendela kecil pesawat. "kau sudah tahu ceritanya" gumamnya seperti pada sendiri. "jangan. Kau tidak perlu meminta maaf. Lagi pula itu hanya masa lalu. Sudahlah, biarkan saja berlalu. Aku tidak mau membahasnya lagi"

Ariana tertunduk dan menyandarkan punggungnya pada kursi. "baiklah"

hening. Mereka berdua hanya hening. Yang terdengar hanyalah suara riuh tawa, tangis, dan obrolan para penumpang kelas ekonomi yang berada di sekelilingnya. Ariana mendesah lagi. "aku merindukanmu"

Justin mendongak menatap Ariana yang masih tertunduk dan menatap kosong kakinya. Senyuman kecil, tersungging di bibirnya yang tipis. "aku juga Ariana. Aku juga merindukanmu"



----

kepala Ariana dan Justin menengadah menatap gerbang besar yang ada di hadapannya. Taxi yang baru saja mengantar mereka kesini, terdengar menderu saat mesinnya dinyalakan dan melesat maju meninggalkan keduanya terdiam di depan gerbang. Dengan waktu bersamaan, mereka berdua mendesah, lalu menarik kopernya dan berjalan memasuki gerbang besar di depannya tanpa berkata-kata. Setelah mereka berdiri di antara asrama pria dan wanita, langkahnya terhenti. Lalu saling bertatapan dan tersenyum satu sama lainnya. Justin mengangkat satu tangannya dan mengelus pipi Ariana dengan lembut. Mengingat sebelum pengakuan itu, ia sering menyentuhnya. Dan setiap kali kulitnya bersentuhan, hatinya berubah damai. Tapi sekarang..

Ia merasa ada yang berbeda. Sentuhannya tidak sedamai dulu. Sekarang saat bersentuhan, seperti ada sengatan listrik ke dadanya. Sakit.

Justin mencium puncak kepala Ariana dengan lembut sebelum bergumam di telinganya. "aku mencintaimu". Ariana terus terdiam. Tidak bergerak sedikitpun. Tetapi otaknya terus berputar. Apa aku masih mencintainya? Jika ya, kenapa aku tidak merasakan getaran aneh di dadaku lagi? Perutku tidak merasakan kupu-kupu yang sedang terbang di dalamnya saat ia mengatakan kata-kata manis itu. Apa itu artinya?

Ariana tertunduk, ia bingung mau menjawab apa. "aku..." Ariana mendesah dan berkata. "aku tahu"

Justin mengangguk. Matanya terpejam sejenak, lalu ia berjalan menjauhi Ariana yang masih berdiri tertunduk di belakangnya.

Sudah kuduga, semuanya sudah berbeda. Pikir Justin pasrah.



----

Bullworth Academy (justin bieber Love story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang