part 39

8.7K 248 1
                                    

ariana POV

tidak terasa malam datang. untungnya hujan sudah reda sore tadi. dan sekarang, aku dan devon sedang duduk di pinggiran air mancur.

sebenarnya aku tidak mau devon berjalan, ya walaupun dia memakai tongkat, tapi dia terus memaksaku untuk keluar di hari halloween ini.

aku dan devon tidak memakai kostum, tapi kami hanya memakai baju santai yang biasa kami pakai usai sekolah.

dari tadi kami hanya diam tak bicara satu sama lain. aku yang memang merasa canggung, terus melihat setiap siswa atau siswi yang sudah lengkap memakai baju halloweennya.

ku lirik sedikit, ke arah devon untuk melihat ekspresinya.

wajahnya datar, ekspresinya tak bisa terbaca olehku.

lalu ku tatap wajahnya agak lama.

"ada yang tertarik di wajahku?" tanyanya tanpa melirikku. raut wajahnya tidak berubah, masih belum bisa terbaca olehku.

"aku merindukan senyumanmu, devon" ucapku asal. pelan-pelan devon melihat ke wajahku, lalu senyuman yang kutunggu tiba-tiba muncul.

bukan senyuman paksa ataupun canggung seperti tadi di kamarnya, tapi memang senyuman tulus yang biasa dia perlihatkan padaku dulu.

"ana, aku mengajakmu keluar karena mau bicara padamu" katanya dan senyuman itu hilang lagi.

"apa itu?"

"kau pasti belum tahu kalau..... aku tidak boleh bermain football lagi" katanya sambil menatapku dengan serius.

"aku tahu, tapi kan hanya sampai kakimu pulih" aku menyemangatinya sambil menggenggam tangannya.

"tidak ana, aku tidak bisa bermain football untuk selamanya! sekarang aku cacat! apa kau tidak lihat keadaanku sekarang?! kakiku tidak bisa di gerakkan lagi!" jawab devon dengan suara yang naik 2 oktaf sekaligus.

aku tidak menjawab perkataannya, tapi aku terus melihat pada kakinya yang di buntel dengan kain perban tebal.

cacat?

"ana, aku....aku.... tidak bisa menjadi pria sempurna lagi untukmu. sekarang aku tidak punya mimpi lagi, aku tidak mau menghancurkan hidupmu--"

"aku tidak peduli" aku menyela perkataannya sambil menatapnya serius. "kau tetap sempurna di mataku, devon" tambahku.

"ana, tetap saja aku tidak bisa. kau mungkin tidak peduli, tapi aku sangat peduli. aku tidak mau kau di ejek kalau kau kekasihku, pria cacat" geleng devon tidak setuju.

alisku bertaut kebingungan. "jadi apa maksudmu? oh atau kau masih belum memaafkanku soal justin? oke, aku minta maaf, lakukan semaumu hukuman apa yang pantas buatku" kataku mencoba menjauhkan pikiran 'itu'.

"aku sudah memaafkanmu ana, justru aku juga salah karena tidak mempercayaimu. tapi bukan itu yang ku maksud" jawabnya sambil menggeleng. aku tidak menjawabnya, tetapi menunggunya untuk di teruskan. "ana, lebih baik hubungan kita sampai di sini saja. aku tidak mau menyusahkanmu lagi dengan sifat kekanak-kanakanku dan mempermalukanmu dengan keadaanku yang cacat" tambahnya.

aku belum membalas kata-katanya, karena rasanya lidahku kaku, dan rasanya aku sudah seperti orang bisu yang tidak bisa bicara.

tidak di duga, aku mengangguk 2 kali dengan gerakan seperti robot.

kenapa aku mengangguk? apa yang ku lakukan?

"ya sudah, aku sangat berterima kasih dengan kebahagiaan yang telah kita alami. aku harap kita tetap bisa berteman. tidak apa ya, ku tinggal kau di sini. aku mau kembali ke asrama, kakiku harus istirahat. night ana" ucapnya sambil berdiri. tapi sebelum devon pergi, dia menyentuh pipiku dan mengecup bibirku dengan lembut. aku terus diam, tidak merespon.

Bullworth Academy (justin bieber Love story)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora