23. New Page

29 11 0
                                    

Seperti apa yang sudah Axe lihat, ia berdiri tegak di barisan paling depan di kubu lawan. Beberapa mata yang memandangnya keheranan, ada pula yang mengkilat, marah. Mereka mengira ia sudah mengkhianati Cloudera dan kaum Maggie. Bahkan Axe sendiri yang memimpin penyerangan ini.

Dengungan kian mericuh tatkala Reyes muncul di sampingnya, siapa yang akan mengira jika mantan ketua itu juga tak lebih dari seorang pengkhianat. Dua kekuatan besar yang akan mereka hadapi, anggap mereka. Ya, kecuali Ravi dan Meisie, tidak ada yang tahu jika sebenarnya mereka hanya sedang mengelabuhi musuh.

"Jadi, latihan selama ini... kita lakukan untuk melawan mereka?" tanya Freya dengan nada bergetar.

Devan mendeceh. "Pantas saja mereka belakangan sering terlihat aneh."

Perhatian mereka lalu terarah pada Zidane dan Ely secara bergantian.

"Kau baik?"

Ely menggeleng. "A--aku... aku ragu apakah aku bisa menghadapi Axe."

"Kalau begitu tidak perlu, aku yang akan--"

"Tidak! Kau bisa mati jika berhadapan dengannya."

"Dan aku, juga takkan membiarkanmu mati, Ely." Zidane memegang dua bahu perempuan itu. "Tiada ampun bagi pengkhianat seperti mereka."

"Kita bisa menang, jumlah mereka tak lebih banyak dari yang kita punya. Ini belum semua, gordon lain akan memberi kejutan dari arah yang tak terduga." Itu Edzard.

Strategi yang mereka gunakan memang sudah direncanakan dengan matang-matang. Sejak pelatihan intens dimulai, semua telah diwanti-wanti agar mempersiapkan diri akan datangnya hari ini. Black magic tidak pernah bisa dianggap main-main.

Awalnya black magic hanyalah sekumpulan magicer yang dipenuhi dengan rasa dendam, yang kemudian terpengaruh oleh sihir jahat entah dari mana asalnya. Mereka dianugerahi suatu hal yang sebenarnya justru adalah sebuah kutukan, yaitu keabadian. Dari waktu ke waktu, pengikutnya semakin banyak. Dengan menjanjikan keabadian, magicer yang ingin menjadi bagian dari mereka harus mengorbankan hal yang paling berharga dalam hidup mereka, mengabdikan seluruh jiwa dan raganya pada black magic.

Sayangnya mereka kecolongan kali ini, Axe yang sudah menjanjikan magic-nya, juga memberikan penawaran lebih dengan membaca mereka satu persatu justru todak benar-benar memihak pada mereka. Setelah membaca dan menjelaskan bahwa tidak sedikit dari mereka yang akan gugur di medan penyerangan, ia memberi masukan supaya tidak semua ikut terjun. Sehingga hampir setengah dari mereka yang diprediksikan akan mati, tidak diperbolehkan untuk mengikuti penyerangan ini.

"Kalian sudah siap?" Ravi mengangkat memberi aba-aba.

Sejurus kemudian pasukan di hadapannya sudah menyerbu maju terlebih dahulu. Hanya selang sepersekian detik, Ravi menurunkan tangan membuat pasukannya lantas melesat. Tanpa gentar ia memimpin di garda terdepan.

Pasukan black magic yang baru akan menyerang dikejutkan oleh serangan energi dari berbagai arah. Kanan, kiri, bahkan ada yang dari bawah tanah. Sebagian dari mereka tumbang.

"Apa-apaan ini? Aku bahkan baru mau melayangkan serangan pada mereka," keluh Devan tak percaya.

Namun, tiba-tiba energi lain menyerang pasukan Cloudera. Jelas itu dari black magic. Pasukan mereka bermunculan dari arah lain, membuat beberapa gordon turut tumbang. Tak terkecuali Meisie.

"Ravi," panggil wanita itu sembari mendekap putranya. Pelukan yang tadinya amat erat, lama-lama mengendur. Meisie kemudian jatuh ke tanah.

"Tidak... ini..." Matanya menatap nanar pemandangan di depannya. Sekitarnya sudah ribut saling serang, dan Ravi menyingkirkan siapapun yang mencoba mendekat padanya maupun sang ibu. Ia meraih tangan Meisie. "Bertahanlah... Jangan pergi..."

THE ORACLEWhere stories live. Discover now