12. Goal

36 12 0
                                    


"Rita!"

Sosok yang namanya dipanggil memutar kepala. Mengedarkan pandangan mencari sumber bunyi.

Nihil.

Ia tidak menemukan seorangpun di sekelilingnya.

"Rita!"

Lagi, ia mendengar panggilan itu. Lebih jelas. Dan ia masih tak menangkap siapapun dalam pencariannya.

"Rita!"

Ia semakin mengenal baik suara yang terdengar kian lantang itu. Namun, di mana dia?

Rita melanjutkan langkahnya yang tak tentu arah. Dia merasakan kakinya menapak di tanah padang yang tandus. Tidak ada apa pun di sana selain kerikil-kerikil yang sesekali diinjaknya.

Entah tempat apa itu, ia tidak tahu.

Kakinya berhenti bergerak kala ia mendapati siluet seseorang tak jauh darinya. Tidak salah lagi, itu pasti dia.

"Ikbal!" Giliran Rita yang kini memanggil.

Tidak ada balasan, perempuan itu memutuskan untuk mendatanginya.

Tepat setelah ia sampai di belakangnya, lelaki itu membalikkan badan, sehingga Rita bisa melihat dengan jelas paras Ikbal.

Ya, Rita masih mengenalnya sebagai Ikbal. Hanya saja, dalam versi agak... sedikit berbeda?

Pandangan yang lelaki itu berikan begitu intens, tidak hangat seperti biasanya. Kulitnya pun terlihat lebih pucat. Satu hal lagi yang nampak jelas berbeda darinya, sepasang mata biru yang belum pernah Rita dapati sebelumnya.

Ragu, Rita mencoba menyapa. "Bal..."

Tidak ada sahutan. Rita justru terlonjak tatkala Ikbal mengeluarkan sebuah serangan energi tepat melewati samping telinganya. Perempuan itu berbalik dan dibuat kembali terkejut karena mendapati seseorang yang terkapar akibat serangan Ikbal.

Orang itu adalah pamannya, Azra.

Dalam hitungan detik, wujud Azra melebur bersama sebuah pusaran angin. Lenyap dalam hyung detik.

"Rita!"

Ia kembali mendengar panggilan itu. Dan ia berani lagi. Tapi keberadaan Ikbal yang tadi dilihatnya sudah tiada. Tergantikan oleh sosok wanita yang kini tepat di depan wajahnya. Wanita yang sejak awal pertemuan mereka sama sekali tidak ia sukai.

"Kamu tidak seharusnya ada di sini," ujar wanita itu dengan raut penuh kebencian.

Seolah terseret ke dalam dimensi lain, tubuh Rita melayang. Pandangannya, seluruhnya menghitam.

"Leta, open your eyes!"

Napas perempuan itu tersengal. Keringat mengucur di pelipisnya. Rita merasakan perutnya mual, entah karena apa. Begitu kelopak matanya terbuka sempurna, ia dapat melihat jelas Aksa berdiri di sisinya.

Tiba-tiba, ia menarik sebagian rambut dan merematnya. Kepalanya terasa luar biasa pening. Rita ingin bangkit dari berbaring, namun ternyata seluruh tubuhnya terasa nyeri hanya karena sedikit pergerakan yang ia lakukan.

"Jangan, kamu hanya akan menyakiti diri sendiri." Aksa menarik kedua tangan Rita. "Bisakah kamu ceritakan padaku apa yang kamu lihat?"

Butuh beberapa saat untuknya mengembalikan kesadaran. Perempuan itu lalu mulai bicara sambil mengatur napas. "Apa yang akan terjadi, kamu harusnya sudah tahu, bukan?"

Aksa mengangguk. "Cukup katakan. Aku baru bisa memberitahumu kalau aku tahu apa yang kamu lihat."

Rita mengerjap tak paham. Namun, pada akhirnya ia memutuskan untuk menceritakan apa saja yang ia dapatkan dalam mimpi buruknya itu. Semua, tanpa ada yang ia tutup-tutupi.

THE ORACLEWhere stories live. Discover now