1. Warmth

163 26 3
                                    

Your future depends on your imagination
Throw away your fear, we can do it, it's okay
All the keys are in your possession

-Power-

🌸🌸🌸

"Bal!" seru Rita tepat di samping telinga orang yang ia panggil.

Ikbal segera menekan pelan alat pendengarannya itu. "Rita, kamu bisik-bisik aja aku masih bisa dengar," ujarnya sekalem mungkin. "KENAPA HARUS TERIAK?!"

"Lah, orang itu malah kamu yang nge-gas kok?"

Lelaki itu mendecih, "Udahlah, aku mau pulang. Mulai menyengat panasnya. Kamu masih betah?"

"Baru mau ngajak pulang juga, eh malah diteriakin. Aku duluan!"

Setelah sesaat Rita berjalan dengan hentakan kaki yang tak bisa dikatakan pelan, Ikbal memutuskan untuk membuntutinya. Mendengar derap langkah tak jauh di belakangnya, membuat Rita tersenyum simpul.

Huh, dasar jangkrik!

Perempuan itu hanya bisa mengumpat dalam hati. Sebab akan gawat jika Ikbal sampai mendengarnya. Rita sudah seringkali kedapatan mengumpati lelaki dengan pendengaran ultrasonik setara insekta itu hanya dengan bergumam, yang berujung pada Ikbal yang akan memberikan ceramah jika hewan pun tidak akan suka namanya digunakan sebagai bahan umpatan.

Rita terus berjalan dan secara perlahan rambutnya yang pirang berubah menjadi kehitaman seluruhnya.

"Eh mbak Rita, udah kekaringnya?"

Perempuan itu hanya mengangguk tak menjawab. "Beli lagi, tiga ya mbak, Sih!"

"Loh, bukannya tadi sudah beli? Sudah dihabisin to mbak?"

Rita menyengir.

Warung mbak Ningsih pasti disambanginya hampir setiap pagi. Hanya demi membeli susu bubuk kesukaan Rita yang akan ia cemili di setiap waktu senggangnya. Hingga pemilik warung sudah hapal betul apa yang akan dibeli perempuan yang menyempatkan diri mampir ke warungnya itu.

"Mas Ikbal juga mau beli?"

Yang disebut namanya tersentak. "Ah, e-enggak. Cuma nemenin itu tuh."

"Siapa juga yang minta ditemenin! Mending kamu pulang duluan sana!"

Ikbal menggeleng. "Nanti aku dimarahin paman kalau pulangnya nggak sama kamu. Ayo buruan, nanti kita telat!"

Melihat Ikbal yang sudah mulai habis kesabarannya, membuat Rita menurut pasrah ketika lelaki itu menautkan tangannya. "Makasih ya mbak, Sih!" teriak Rita ketika ia sudah mulai menjauh dari warung. Mbak Ningsih membentuk tangannya menjadi lambang OK kemudian menggeleng tak habis pikir melihat kelakuan dua anak itu.

Tak lama setelah melenjutkan berjalan, akhirnya mereka sampai di sebuah rumah berwarna putih gading dengan halaman yang cukup luas.

"Paman!"

Pria yang sedang sibuk membaca koran di teras rumah itu harus menghentikan aktivitas mendengar rengekan Rita. Sontak ia melepas kacamata yang digunakan. "Ini sudah pukul berapa? Nanti kalian telat berangkatnya. Segera mandi!"

"Yah, paman! Aku nggak mandi nggak akan ada bedanya kok. Lagian wangi juga," rayunya pada pria yang masih duduk di tempat. "Kalau Ikbal sih wajib mandi, karena dia bergaulnya sama sejenis walang sangit. Jadi-"

"Rita..." pria itu berdiri dan melipat tangannya.

"Hehe, iya-iya deh paman ganteng." Rita bergegas masuk ke rumah tak lupa memberikan juluran lidah pada lelaki yang sempat diledeknya tadi.

THE ORACLEWhere stories live. Discover now