14. Pre-eclipse

30 12 0
                                    

Menuju kantin, Rita berjalan gontai. Dengan berat ia menyeret kedua kakinya. Padahal perempuan itu sudah terhitung keluar awal ketimbang yang lain, tapi sepertinya kelas lain selesai lebih dulu dari kelasnya.

Terlihat antrian yang mengular panjangnya sungguh tak kira-kira. Rita memeluk nampannya erat, sementara tangannya sedikit gemetar. Tidak, ia bukan sedang takut. Hanya saja sedikit... lapar mungkin? Ah, bukan, dia benar-benar lapar. Tenaganya sudah terkuras habis untuk pelajaran barusan. Ely mengeksploitasi energi para magicer yang diajarnya, menyuruh mereka menggunakan magic secara maksimal untuk membangun memori. Ingatan-ingatan yang sempat terlupakan. Sungguh menghabiskan energi.

Ditambah, Rita bangun kesiangan. Jadi ia tak sempat membuka jendela kamar untuk sarapan sunrise walau sebentar. Selama pelajaran ia sama sekali tidak bisa fokus. Bukannya mendapatkan memori lamanya, Rita malah semakin kelaparan.

"Ih, kok lama banget sih!" gerutunya lirih.

Barulah sepuluh menit kemudian Rita sampai di hadapan hidangan yang berjejer. Dengan mantap ia mengambil apa saja, tidak ada makanan yang tidak ia suka, berharap seluruh isi nampan itu bisa segera mengisi kekosongan perutnya.

Sampai-sampai ia tidak sadar, atas nampannya menggunung bak porsi makan tiga bahkan empat orang dewasa. Tak peduli dicibir oleh yang melihat, Rita bergegas mencari meja kosong untuk menikmati santapannya.

Sialnya baru beberapa langkah ada sesuatu yang menahan sebelah kakinya, sehingga ia terjatuh bersama dengan makan siangnya.

"Oopsie! Sorry. Kamu harusnya lebih hati-hati lagi kalau jalan," ucap sosok bersurai hijau itu dengan santai. Lantas membuat seluruh magicer yang semeja dengannya tertawa.

Sedetik kemudian, terdengar suara gesekan antara nampan dan lantai. Tampaknya ada yang menyenggol benda itu. Bukan, nampannya bahkan ditendang. Tak salah lagi, Rita mendongak dan mendapati sosok lain menatapnya tajam. Tatapan tak suka yang kentara.

"Yang satu menjadi gordon dadakan, yang satunya lagi sudah jelas melakukan pelanggaran tapi bisa kembali ke sini. Apa seluruh keluarga Daniswara memang tidak pernah tahu diri?"

Sebisa mungkin Rita menahan supaya emosinya tidak meluap. Ia lantas bangkit dan memilih kembali ke kamar, rasa laparnya masih namun mood makannya sudah hilang. Saat berpapasan dengan si penendang nampan, ia berhenti sejenak.

"Kamu nggak perlu ikut campur urusan keluargaku-"

"Aku perlu. Kita semua, perlu."

Rita pun mengamati sekeliling, seluruh mata tengah terarah padanya. Pandangan mereka sama seperti lelaki di hadapannya, dingin. Bukannya ingin menghindar, hanya saja ia tak suka jika harus mengurus hal yang baginya tak penting ini. Rita kemudian benar-benar kembali ke kamar.

Sesampainya di kamar, ia melempar tubuhnya ke ranjang.

"Sialan!" umpat Rita sembari memegangi kepalanya. Pelipisnya sudah dipenuhi keringat. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia merasakan pening.

***

Aksa mengetuk pintu kamar itu lagi. Sudah dua kali namun belum ada jawaban. Jika sesuai perkiraan, Rita harusnya sudah di kamar, mengingat makan malam baru saja bubar.

"Apa lagi di kamar mandi, ya?" Aksa mencoba mengetuk lagi, lebih keras kali ini. Lalu iseng-iseng merah kenop pintu, dan ternyata tidak dikunci. "Rita, kita harus-"

Aksa termangu. Ia mendapati perempuan yang dicarinya sedang terlelap di ranjang. Pantas saja panggilannya tak dijawab. Mendekat, Aksa dibuat heran. Apa saking ngantuknya dia langsung tidur tanpa lepas sepatu lebih dulu?

THE ORACLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang