[10] Ternyata Saudara

183 146 42
                                    

Agaz, Dirham, dan Erik berlari secepat mungkin menuju halaman depan dan melajukan motor mereka menuju kediaman Runa. Untuk pertama kalinya Agaz merasa ada yang aneh dengan Dirham, begitu banyak pertanyaan yang terputar di otaknya. Mereka saling bertukar kontak? Runa meminta pertolongan Dirham? Alamat rumahnya pun dia hafal? Bahkan Agaz saja tidak tau menau perihal nomor handphonenya Runa.

Entahlah, ia berusaha mengabaikan segala pertanyaan di benaknya, mereka menambah kecepatan motor yang mereka bawa hingga tiba di tujuan. Hari yang sudah akan menjelang malam membuat penerangan di rumah yang mereka datangi semakin gelap, makhluk-makhluk tak kasat mata mulai mengintai Agaz namun tak ada satupun yang berani mendekat.

"Lo yakin ini rumahnya?" Erik menatap rumah tersebut lalu bergidik ngeri.

"Hooh, gue pernah ke sini sebelumnya." Jawaban Dirham semakin membuat Agaz penasaran, Dirham mulai melangkah maju menuju pintu utama. "Lo ada urusan sama Runa sebelumnya?"

"Jangan tanya sekarang, Gaz."

Mereka bertiga mendobrak pintu depan yang terkunci hingga terbuka lebar, nampak sekali rumah yang tak terawat, sarang laba-laba ada di mana-mana, beberapa bingkai foto sudah sangat berdebu, namun tidak dengan foto seorang wanita paruh baya yang bersama anak perempuannya.

"Gue jalan di depan, ini bahaya banget kalo mereka gak segera di usir." Agaz memimpin jalan mereka menyusuri seisi rumah, ia menatap para hantu yang menghadang jalannya sampai hilang satu per satu.

Beberapa ruangan sudah mereka periksa, bahkan kamar yang diyakini mereka kamar Runa pun sudah, namun tak ada tanda-tanda keberadaannya di sana.

"Kita belum coba cari di sana deh kayaknya." Erik menunjuk ke sebuah pintu ruangan yang diyakini mereka adalah gudang. Agaz dan Dirham mengiyakan ucapannya, beberapa kali Agaz memutar kenop pintu tersebut yang ternyata telah terkunci, ia berpikiran untuk mencari Runa di ruangan yang lain saja. Sedangkan di sisi lain Runa yang badannya dipenuhi luka-luka merintih kesakitan mendekati pintu yang sama, ingin sekali ia berteriak namun suaranya benar-benar tercekat.

PRANG!!

Kakinya tak sengaja menendang guci yang berada di meja hingga pecah. Agaz, Dirham, dan Erik yang baru saja ingin beranjak pergi kompak terdiam, mereka berbalik dan mendekati ruangan tersebut, Agaz kini yakin suaranya berasal dari sana. "Dalam hitungan ke tiga kita dobrak pintunya sama-sama." Dirham memberi aba-aba pada kedua sahabatnya.

"1...,"

"2...,"

"3!"

Betapa terkejutnya mereka melihat keadaan di dalam yang begitu berantakan, darah berceceran di mana-mana, pecahan kaca yang berserakan, dan barang-barang di dalamnya yang tak lagi utuh. Agaz dengan cepat menggendong tubuh Runa yang tergeletak di lantai sedangkan Dirham dan Erik membopong tubuh ayahnya bersama-sama lalu dengan cepat pergi meninggalkan gudang.

"To-long."

Agaz memutar balik badannya menghadap ruangan tersebut yang setengah tertutup, ia baru menyadari ada pintu lain di dalam gudang.
Pintu tersebut seperti digedor oleh seseorang di dalamnya, Runa berteriak untuk terakhir kali sebelum dirinya benar-benar pingsan.

BRAK!!

Pintu gudang tertutup sempurna "Sial! Ini bukan Runa!" Agaz dengan refleks melempar tubuh seseorang digendongannya, namun ia kalah cepat. Tubuh Runa berubah menjadi sesosok kuntilanak, hantu tersebut menghilang setelah berhasil mencakar wajah Agaz. Erik dan Dirham kaget bukan main, mereka sama-sama memandang ke arah tubuh ayahnya Runa yang mereka rangkul sedari tadi. Agaz yang paham situasi langsung angkat bicara. "Itu bener ayahnya Runa, kalian bawa dia ke luar, Runa biar jadi urusan gue."

Dirham memandang temannya itu khawatir. "Yakin, Gaz? Kalo ada apa-apa gimana?"

"Gapapa gue bisa jaga diri." Ia mendobrak kembali gudang yang terkunci.

"Kita duluan, Gaz. Lo hati-hati," ucap Erik lalu mereka dengan cepat keluar dari rumah tersebut. Bertepatan dengan perginya Erik dan Dirham, pintu menuju halaman belakang terbuka lebar, seseorang berjalan tergesa-gesa mengelilingi seisi rumah.

"Runa!! Runaa!!!"

Agaz yang mendengar adanya suara lain sontak berhenti mendobrak-dobrak pintu dan terdiam sesaat. "Gak, gue harus cepat masuk ke dalam." Ia kembali mendorong pintu itu sekuat tenaga, pada dobrakan selanjutnya pintu gudang terbuka lebar, ia berlari mendekati pintu lain di dalamnya.

"Runa!! Kamu di mana?!!" Suara tersebut semakin mendekati Agaz, ia merasakan seseorang berjalan tak jauh di belakangnya namun Agaz mengacuhkan siapa pun yang datang, jika saja dirinya terlambat mungkin nyawa Runa yang menjadi taruhannya. Tubuh Runa tergeletak begitu saja di lantai yang kotor. Agaz langsung menggendongnya dan berjalan keluar, namun sebelumnya ia memperhatikan ruangan tersebut, sepi, benar-benar sepi. Kemana mereka? Bahkan saat Agaz berada di gudang tadi mereka masih mengawasinya. Sesaat kemudian seorang gadis datang dan memecahkan lamunannya.

"Runa?!!! Lo kenapa?!!" Ia benar-benar panik.

"LO?!! NGAPAIN LO DI SINI?!!" Suaranya naik beberapa oktaf saat melihat wajah Agaz.

"Jangan banyak omong, kita harus ke luar dari rumah ini secepatnya."

Alin menahan bantahannya dan mengikuti langkah kaki Agaz, mereka sampai di luar rumah dengan selamat, terlihat Erik dan Dirham di dalam sebuah mobil berwarna putih menunggu kehadiran mereka. Agaz membopong tubuh Runa masuk ke dalam mobil, begitu juga dengan dirinya "Eh? Runa mau dibawa ke mana?!!!" Alin setengah berteriak.

"Bikin repot aja nih bocah," Hampir saja Agaz melupakan kehadiran Alin,
"masuk mobil sekarang, gausah banyak tanya! Atau gue tinggal," lanjutnya.

Alin berpikir sejenak, bisa-bisa turun harga dirinya jika menerima tumpangan dari Agaz tapi yasudahlah. "Yaudah gue ikut, terpaksa." Ia tak memiliki pilihan lain, hari sudah malam, untuk datang ke sini saja ia harus menggunakan taksi online. "Cih." Agaz memutar bola matanya, Erik dan Dirham hanya memandang bingung keduanya, apalagi pada Alin yang tiba-tiba muncul dari dalam rumah.

Mobil mulai melaju kencang "Akhirnya lo berguna, Ham." Agaz menepuk-nepuk pundak Dirham.

"Untung aja sopir gue mau antar nih mobil ke sini, kalo gak gatau deh kita bawa mereka pake apaan." Ucapan Dirham membuat Erik mengangguk-anggukan kepalanya.

"Lo siapanya Runa." Bukan seperti bertanya Agaz malah seperti memberikan pernyataan.

Alin yang merasa terpanggil sontak menjawab "Siapa? Gue?" Ia menunjuk dirinya sendiri.

"Bapak lo! Yah lo lah!"

"Santai aja dong! Runa sepupu gue! Tadi dia sms minta tolong jadi gue buru-buru ke rumahnya!" Alin menghembuskan napasnya pelan, "tuhkan jadi ikutan ngegas."

"Rumah lo di mana?" Apa pun yang keluar dari mulut seorang Agaz rasanya sangat menyebalkan bagi Alin.

"Ngapain lo tanya-tanya?!!"

"Runa sama ayahnya mau di ke manain?!! Bawa ke rumah gue?! Ya kali?!! Yang ada gue diwawancara sama ortu di rumah! Ngotak dong! Masa gue minta alamat buat ngapelin lo!!" jelas Agaz panjang lebar.

"Eh? Kok malah ribut?" Erik menengahi mereka, sedangkan Dirham lebih memilih untuk diam.

"LO DIEM!!" sorak Agaz dan Alin bersamaan, Erik menelan ludahnya kasar. "Serem ih."

Tak lama lagi mereka sampai di kediaman Alin, akhirnya Alin mau menunjukkan jalan kerumahnya pada Agaz, namun suara keras di belakang mobil mereka yang tiba-tiba, membuat suasana menjadi tegang.

"Ada apa lagi sih?!!"












































To be continued...

Am I A Ghost?Where stories live. Discover now