[8] Pertemuan Pertama

160 150 40
                                    

Suasana di koridor mendadak menjadi hening, ada beberapa pasang mata yang menatap ke arah Agaz dan seragamnya yang kini berubah lusuh dan basah akibat minumannya yang tumpah. Atmosfer semakin mencekam saat Agaz melangkahkan kakinya mendekati gadis di hadapannya, terlihat gadis tersebut masih memegang gelas minumannya yang kini hanya berisi setengah karena sisanya juga tumpah pada seragam yang Agaz kenakan.

Agaz menatapnya dengan marah. "Lo kalo jalan liat-liat dong!!" Suaranya terdengar naik satu oktaf, mengundang murid-murid lain yang berdatangan untuk menyaksikan keributan mereka. Tidak seperti yang Agaz pikirkan, gadis tersebut langsung menjawab ucapannya dengan suara yang tak kalah lantang. "GAK SE-NGA-JA!"  Kini emosi Agaz semakin tersulut.

Dirham yang menyadari bahwa mereka mulai dikerumuni murid-murid yang lain dengan sigap membawa Agaz pergi dari tempat kejadian, sebelum guru mulai berdatangan dan memperumit keadaan, sedangkan Erik sibuk berlagak menenangkan gadis tersebut dan menyuruhnya pergi.

"Tinggal bersihin aja Gaz gak usah emosi gitu, mana ada cowok lawannya cewek," ucap Dirham setibanya mereka di ruang kelas, membuat Agaz kini berbalik marah kepadanya.

"Diem lu ngoceh mulu! Nih bersihin baju gue," sarkasnya.

"Ogahh!" Dirham melempar kembali tissue yang diberikan Agaz padanya hingga tepat mengenai wajah Erik yang baru saja tiba di kelas lalu pergi meninggalkan keduanya.

"Ebuseett, gasopan banget anaconda." Tukas Erik yang menatap nyalang kepergian Dirham. Agaz tak berniat menghiraukan kehadiran Erik di dekatnya, ia melamun dan mengingat-ingat mimpinya semalam yang saat ia pikir lebih jauh lagi ternyata mirip dengan kejadian yang baru saja ia alami.

"Cewek, nyebelin, gak kenal, nyari gara-gara, sok pemberani, hmm," Agaz berbicara sendirian.

"Asli ini mirip banget sama mimpi gue."

"Gaz!" panggil Erik.

"Tapi kok bisa ya? Kebetulan gitu." Alih-alih menjawab, ia malah melanjutkan ucapannya.

"GAZZZ!!" sorak Erik sambil melambaikan tangannya tepat di depan wajah Agaz.

"Bodo ah, mendingan ke wc buat bersihin nih baju, gara-gara tuh cewe, awas aja kalo ketemu gue ntar!"
Agaz bangkit dari kursinya dan berjalan tergesa keluar kelas meninggalkan Erik yang terpaku di kursinya dengan keadaan mulut menganga.

"Dih ngapain gue di sini, lagian jamkos mendingan gue ikutin Agaz," ucapnya.

"Agazzzz, jangan tinggalin dakuuu!!" teriak Erik di sepanjang koridor.

Setelah membersihkan seragamnya yang kotor mereka berjalan kembali ke kantin, tidak menghiraukan hukuman apa yang mereka dapatkan jika ketahuan guru yang lain. Erik menyipitkan matanya saat melihat seseorang yang dikenalnya berjalan mengendap-endap dari kantin menuju halaman samping.

"Gazz, gazz!" panggil Erik sembari menyenggol lengan temannya itu.

"Apa?"

"Liat tuh!" Agaz mengikuti arah yang ditunjuk oleh Erik, namun yang ada hanya tembok kosong di sana.

"Gabutt bilang boss!" Agaz yang jengah dengan Erik beranjak dan segera memesan minuman di kantin.

Dirham? Habis ngapain dia? Erik membatin.

***

Agaz dan Dirham tak henti-hentinya menggerutu, mereka harus menghabiskan 30 menit untuk membersihkan kelas, terlebih lagi Dirham yang tak ada sangkut pautnya dengan hukuman yang Agaz dan Erik dapatkan terpaksa ikut membantu dengan iming-iming demi persahabatan.

"Gara-gara lo sama Erik gue jadi kena imbasnya, awas aja gue gak ditraktir bakso ntar!" Dirham menunjuk-nunjuk Agaz menggunakan ujung sapunya.

"Selow brooo selowww, ini gue mikir Erik boker apa gimana, udah lima belas menit ke toilet gak balik-balik," ucapnya curiga.

Mereka bertatapan sesaat, seolah sama-sama mengetahui isi otak masing-masing.

"Awas aja kalo tuh anak pulang duluan heh!" oceh Dirham.

"Gue aduin sama guru biar hukumannya ditambah besok," lanjut Agaz.

"Urusan mukulin dia biar gue aja."

"Yaudah gue siapin karung big size, kita iket dia di pohon beringin samping sekolah."

"Kalo gitu gu--"

Ucapan Dirham terpotong oleh suara ketukan jendela kaca kelas yang menghadap halaman samping sekolah, keduanya terdiam membuat suasana mendadak menjadi hening, Agaz melirik ke sekitarnya dengan hati-hati.

Tok!

Tok!

"Apaan sih ga lucu bercandanya," sinis Dirham.

Lampu kelas mendadak hidup, mati, hidup, mati, hingga suara pecahan memekakkan telinga mereka, lampu kelas mendadak pecah mengotori lantai yang baru saja mereka bersihkan. Untungnya mereka dengan sigap menepi, suasana kembali hening, udara yang mendadak dingin membuat keduanya bergidik ngeri. Anehnya lagi saat Agaz memandang seisi ruangan, yang ia lihat hanyalah anak kecil yang menunduk ketakutan di pojok kelas, lalu beberapa menit kemudian menghilang. Mereka memberanikan diri untuk berjalan mendekati jendela, keduanya memperhatikan keadaan di luar dengan seksama.

"Gak ada siapa-siapa, Gaz." Agaz yang belum percaya kembali mengecek keadaan di luar jendela. "Iya sih sepi."

"DUAARRR!!!!"

"AHAHAHAHAH!"

"MUKANYA TEGANG BANGET KAYA LAGI DIHUKUM SAMA KEPSEK!"

"AHAHAHHA!" Tawa Erik menggelegar di penjuru ruangan namun semakin lama semakin mengecil karena mengetahui tidak adanya respon dari kedua sahabatnya. Agaz dan Dirham serempak berbalik badan, menatap Erik seksama.

"Jadi yang tadi itu lo?" tanya Dirham to the point.

"Iya, asik gak?" Erik tersenyum lebar.

"Gak jelas." Dirham berjalan melewati Erik lalu mencari-cari keberadaan tasnya sementara Agaz masih menatap Erik curiga.

"Tadi lo ngelakuin apa aja?"

"Ngetok jendela sih"

"Trus?"

"Udah," jawab Erik santai.

Agaz tak lagi menjawab, begitu juga Dirham yang sudah menyandang tas di bahunya. Ia memberi isyarat pada Agaz untuk kembali melihat ke bawah, mereka tersentak sesaat mendapati lantai yang bersih tanpa satu pun pecahan bola lampu, semuanya benar-benar kembali seperti semula. "Kita pulang sekarang," ucap Agaz lalu berjalan tergesa keluar dari ruang kelas diikuti Erik dan Dirham di belakangnya.

Tak perlu waktu lama, mereka segera menghidupkan mesin motor dan berlalu meninggalkan area sekolah, namun Agaz merasakan sesuatu yang ganjil saat dirinya melewati gerbang. Ia menatap Dirham dan Erik bergantian lalu beralih melihat ke arah sesuatu yang nampak pada spion motornya. Agaz berkali-kali mengusap kaca spionnya untuk memastikan apa yang dilihatnya benar, namun yang dilihatnya tetap sama saja. Sosok lelaki berkacamata yang kini sedang menangis tepat di samping gapura, Agaz masih melihat ke arahnya hingga dirinya benar-benar jauh meninggalkan area sekolah.

Ngapain dia di sana? batin Agaz penasaran.










































To be continued...

Am I A Ghost?Where stories live. Discover now