[5] Runa?

196 161 87
                                    

Arum terlihat begitu khawatir saat mendapati Gaza yang tersungkur dengan memar di dahinya, ia dengan sigap mengompres dahi Gaza dengan handuk dan air es, berharap bisa mengurangi sakitnya. "Kok bisa gini sih, Pa?"

"Nggak tau juga, tiba-tiba ada yang ngelempar batu dari kaca belakang, sakit banget cuy." Gaza sesekali meringis, setelahnya Arum hanya berceramah, memberitahu agar suaminya itu untuk lebih berhati-hati yang malah membuat Gaza semakin pusing mendengarnya. Sementara Agaz termenung memperhatikan keduanya, peristiwa yang menimpa ayahnya sekarang mengingatkan dirinya dengan sesuatu.

"Mereka bisa nyakitin siapa aja, Gaz. Apalagi orang-orang terdekat lo."
Jelas Daniel. Agaz dan Daniel berada di koridor sekolah yang masih sepi, ia sengaja datang lebih pagi untuk berbincang banyak hal dengan Daniel. "Jadi gue harus gimana? Gue gak bisa biarin Runa sakit-sakitan." Tanya Agaz dengan raut wajah panik. Daniel berpikir sesaat lalu membuka suara "Entahlah."

Mengingat-ingat hal itu lagi membuat Agaz menghembuskan nafasnya pasrah. "Masih sakit, Pa?" Ia memegang memar di dahi ayahnya lalu tersenyum mengejek.

"Masih nanya nih anak, ya sakitlah, mangkanya jangan dipegang-pegang!" jawab Gaza ngegas.

"Yaudah nanti obatin lagi, sekarang kita makan malam dulu." Arum bangkit dan melangkahkan kakinya menuju meja makan. Hingga lima menit berlalu mereka masih setia berada di sana dan makan dengan begitu tenang sesekali berbincang tentang kehidupan anak satu-satunya itu.

"Gaz, kok papa gak pernah sih liat kamu sama cewek?"

"Iya, mainnya cuma sama Erik kalo gak sama sih Dirham."

"Jangan-jangan anak kitaa...," Gaza menatap Agaz intens membuat si empunya merasa dipojokkan.

"Eh! Pikirannya macam-macam, Agaz masih normal lah, lagi naksir sama cewe jutek ahahahaha!" Agaz membuka suara meruntuhkan argumen buruk yang orangtuanya pikirkan.

"Ciee!! Siapa namanya? Dimana rumahnya? Anak siapa? Kenapa gak diajak ke rumah? Cantik gak? Sekelas sama kamu?" Pertanyaan beruntun dari Arum membuat Agaz memutar bola matanya malas, Gaza ikut terkekeh.

"Kenapa gak sekalian golongan darah juga? Namanya Runa, rumahnya nggak tau besok aja Agaz mau tanya tapi Agaz minta restu ya wkwk, belum tau nama calon mertuanya Agaz, boro-boro diajak kerumah, diajak kekantin aja gak mau, ya jelas cantik, sekelas sama Agaz, dia murid baru," jelasnya panjang lebar, Arum dan Gaza saling menatap, tak menyangka bahwa Agaz akan menjawab semua pertanyaan tersebut.

"Yang penting tau batasan aja," ucap Gaza.

"Iya jangan macam-macam," sambung Arum lagi.

"Satu macam aja kok, Ma. Gak banyak," jawab Agaz lalu terkekeh.

"Tau ah males pengen beli truk." Arum bangkit dari duduknya beranjak membawa piring kotor untuk dicuci.

"Mampus lu besok gak dikasih uang jajan sama mama AHAHAAHAH." Gaza bergegas pergi dari ruang makan meninggalkan Agaz yang terdiam beberapa saat.

"Ada benernya juga kata papa, gawat!!" Agaz segera berlari mendekati Arum.

"MAAAAAHHHHH!!!"

***

"Mau lagi cabenya, Gaz? Kurang tuh."

"Gue tonjok mau lo, Rik?! Ini udah banyak banget bego, lu sih main tuang-tuangin aja!" Agaz kembali meneguk minumannya di gelas untuk yang kesekian kalinya, lalu mengipas-ngipaskan lidahnya yang kepedasan.

"Gue gak ikutan ya, emang parah tuh Erik kalo ngerjain orang." Dirham mengompor-ngompori keduanya.

"Dih lo nggak larang gue sih ahahaha."

Am I A Ghost?Where stories live. Discover now