[16] Penyesalan

106 57 37
                                    

Runa masih terus berjalan meski dirundungi keraguan, hanya butuh satu langkah lagi agar ia benar-benar sampai di depan pintu itu. Saat sebuah cairan lengket menyentuh jari-jari kakinya, ia langsung dengan cepat menoleh ke bawah dan bergerak mundur. Cairan menjijikan itu keluar dari ruangan di hadapannya melalui sela-sela pintu, membuat Runa mengernyit menahan mual. Sementara suara tangisan di dalam sana semakin terdengar jelas, suara tangisan yang begitu ia kenal, dan akhirnya Runa menyadari bahwa Doni--ayahnya itu pulang lagi hari ini.

Tangannya mulai meraih gagang pintu yang kini terlihat kotor, di beberapa sela bahkan terdapat sarang laba-laba yang membuatnya kelihatan begitu kontras dengan setiap bagian lainnya di kediaman Runa. Ia menghembuskan napas pelan dan memberanikan diri untuk membuka pintu itu dengan sangat hati-hati, lalu segera masuk ke dalam ruangan yang akhir-akhir ini sebisa mungkin untuk ia hindari.

Berantakan, kumuh, kotor, dan bau cukup untuk menggambarkan situasi dalam ruangan yang dilihat Runa saat ini. Ia berjalan dengan pelan mendekati pintu lain di dalam sana yang kini terbuka lebar, dan mendekati sumber suara. Kakinya terhenti saat mendapati Doni yang bersimpuh di samping peti mati dengan isakan tangisnya yang tak kunjung juga berhenti, ia langsung mundur beberapa langkah saat mendengar ayahnya itu mulai bermonolog.

"Sudah lima bulan berlalu, kamu gak capek ya tidur terus?"

"saya selalu nungguin kamu untuk bangun, saya sakit sendirian di sini...."

Doni semakin terisak, benar-benar terdengar memilukan. Namun saat mendengar kata-kata terakhir yang ayahnya ucapkan, Runa hanya terkekeh pelan. Sakit sendirian katanya, lantas yang Runa rasakan selama ini apa? Kesenangan? Tidak, tidak sama sekali!

"Tolong bangun, Rhea,"

"tolong jangan buat saya menyesal karena terlalu percaya kamu yang mungkin suatu saat akan bangun, padahal nyatanya kamu gak pernah berusaha untuk itu,"

"kamu masih mau tidur? Bahkan saat saya udah relain Runa buat bikin kamu tetap di rumah ini?"

"asal kamu tahu, Rhe. Saya udah gak punya keberanian lagi buat tatap mata anak saya sendiri, saya sayang Runa, kamu yang paling tahu sesayang apa saya sama Runa, tapi saya harus apa saat kondisi kamu kaya gini? Keputusan saya benar 'kan, Rhe?

Semua kata-kata itu keluar begitu saja dari mulut Doni dan dengan mudahnya mampu membuat Runa terduduk lemas. Ia bersandar pada tembok yang memisahkan keduanya, memeluk kedua lututnya erat-erat, dan mulai menikmati setiap tetes air matanya yang turun. Di sisi lain Doni sedang berusaha bangkit dan memberanikan diri menatap jasad istrinya yang kian membiru, wajahnya masih sama persis sejak terakhir kali ia melihatnya hidup-hidup.

Doni mendekatkan tangannya pada pipi Rhea yang dingin, jasad istrinya itu masih utuh karena sebuah perjanjian yang ia ambil saat dirinya benar-benar hilang akal. Ia beralih menatap bekas luka di kaki Rhea yang kembali membusuk, begitu juga dengan tangannya, membuat air mata Doni lagi-lagi terjun bebas.

"Saya salah ya, Rhe? Kamu pasti mau pulang, 'kan? Runa pasti lebih sakit, 'kan?" Ia mengelus lembut wajah pucat itu, Runa yang mendengar penuturannya mengulas senyuman tipis.

"Tapi semuanya udah terlambat, saya gak bisa hidup tanpa kam--" ucapan Doni terputus tepat saat Runa tiba-tiba muncul dihadapannya, ia benar-benar tidak tahan lagi.

"Pa, cukup ya? Jangan dilanjutin...," Manik matanya yang kini berkaca-kaca menatap Doni lekat-lekat.

"PAPA HARUS SADAR!! MAMA UDAH GAK ADA LAGI SAMA KITA! MAMA CAPEK, DIA MAU PULANG!!" Runa berteriak dengan matanya yang memerah karena menahan tangis dan benar-benar tidak peduli pada siapa ia sedang berbicara.

Setelah sekian lama, Doni akhirnya membalas tatapan Runa yang berdiri satu meter di depannya, beberapa detik kemudian kakinya mulai melangkah maju. Tepat seperti dugaan Runa, satu tamparan keras menyentuh pipi kirinya meninggalkan bekas kemerahan.

Untuk saat ini tamparan itu tidak lagi berarti baginya, ia mengulas senyum tipis. "Papa tau gak? Nampar aja gak nyelesaiin masalah,"

"gak bisa bikin mama hidup lagi, ya karena dia emang udah mati."

Lagi. Tamparan kedua mendarat di pipinya.

"Runa harus apa biar papa sadar? Runa mati aja, ya?" Ia bergerak mundur, dengan gerakan cepat Runa mengambil pecahan kaca yang tergeletak di samping kakinya, lalu mendekatkan benda tajam itu pada urat-urat di lehernya sambil mengulas senyum sinis.

Doni membelalakkan matanya, meski begitu ia masih tidak juga membuka suara. Ia malu, benar-benar malu mengakui penyesalannya, malu setiap saat dia harus berhadapan dengan Runa--anak satu-satunya, hingga berakhir hanya dengan tamparan yang Doni pikir bisa ia jadikan respon terbaik bahkan hingga Runa memtuskan untuk mengakhiri hidupnya.

Kini Runa benar-benar kecewa, jauh seperti ekspetasinya saat memikirkan bahwa ayahnya akan berhenti dengan cara ini, namun alih-alih mencegahnya, Doni bahkan hanya berdiri di tempatnya dengan wajah datar.

Tidak butuh waktu yang lama pecahan kaca itu mulai menggores kulit tipis di lehernya, entah apa yang Runa pikirkan sekarang, bunuh diri di depan jasad ibunya dan ayahnya sebagai saksi? Sungguh ironis. Namun beberapa saat kemudian entah apa yang membuat kehidupan masih berpihak padanya yang membuat tangan Runa bergetar tiba-tiba, menghentikan gerakan tangannya saat berusaha membuat lehernya terluka lebih dalam.

Ia kehilangan tenaga, membuat pecahan kaca di tangannya terlepas dan terjun bebas. "ARRGGHHH!!! Runa tersungkur sembari memegangi kepalanya yang mulai kesakitan, untuk kesekian kalinya peristiwa itu kembali muncul.

Tepat di hari kematian ibunya, di tanggal yang sama, lima bulan yang lalu.

Saat itu di malam yang sunyi, Doni dan Runa mendengar kabar buruk untuk pertama kalinya. Seseorang datang mengetuk pintu rumah mereka dan menyampaikan kabar bahwa Rhea tergeletak di jalanan yang sepi dengan tubuh yang bersimbah darah, mereka dengan cepat bergegas ke rumah sakit saat mengetahui Rhea sudah lebih dulu dibawa ke sana oleh penduduk setempat.

Namun takdir berkata lain, Rhea terlambat diselamatkan.

Untuk waktu yang lama kedua ayah dan anak ini menangis sejadi-jadinya, sulit untuk mereka menerima kehilangan yang begitu tiba-tiba, hingga Runa sendiri pingsan di saat-saat Rhea ingin dikebumikan.

Peristiwa lain muncul diingatannya, membuat Runa kembali memekik kesakitan.

Masih di hari yang sama, Doni berdiri dihadapan bayangan hitam yang melayang-layang seperti kepulan asap yang menggumpal. Diingatannya, Runa menyaksikan Doni yang ketakutan hingga mereka terlibat percakapan, saat Doni menerima tawaran untuk tetap mempertahankan jasad istrinya agar tidak membusuk dengan Runa sebagai gantinya. Saat-saat Doni percaya bahwa Rhea akan kembali hidup dengan memenuhi syarat-syarat yang roh jahat itu berikan padanya.

Doni yang hilang akal akhirnya dengan mudah tergoda dengan tipu daya yang ia dapatkan, sama sekali tidak menyadari bahwa roh jahat itu hanya ingin memanfaatkan Runa bahkan hingga sekarang.

Runa yang kini hidup berdampingan dengan banyak arwah gentangan, yang akan mengganggu siapa pun yang mengusik ketenangan "mereka" apalagi pada orang-orang yang ingin mengusir "mereka" dari tubuhnya.

Hingga beberapa saat kemudian hal lain yang belum ia ketahui bahkan saat peristiwa ini muncul berkali-kali dimimpinya kini terputar diingatannya membuat Runa jatuh pingsan beberapa saat kemudian. Kini Runa mengetahui bahwa jika Doni menghentikan perjanjian tersebut maka nyawa Runa yang menjadi taruhannya.







































Akhirnya update juga...

Btw Zey mau sedikit basa-basi mengenai chapter ini yang bahas alasan Runa jadi sarangnya "mereka". Jadi sebelumnya Runa tuh belum tau apa-apa, soalnya dia pingsan kan... dan soal ruangan itu juga biasanya dikunci, ga pernah dibuka sama selain ayahnya. Jadi Runa taunya kalo selama ini dia jadi taruhan tuh karena sering dimimpiin, sampai akhirnya dia nekat masuk ke ruangan itu... setelah tau,untuk beberapa saat Runa terima-terima aja, soalnya demi Doni sama Rhea.

To be continued...

Am I A Ghost?Where stories live. Discover now