Vidra : 17 Agustus

2.3K 213 17
                                    

"Ma! Lihat, aku dapat piala!"

Aku menoleh, sementara tanganku tidak berhenti memotong beberapa sayur untuk makan siang. Hari ini sedang tidak ada job, jadi aku inisiatif buat belajar masak. Biar Arkan dan Arsen tidak makan makanan luar terus.

"Wah, Arkan dapat piala?"

Aku merukuk, menyamakan tinggiku dengan tinggi anak itu. Ia memelukku erat, bangga sekali aku dia masih mengingat ibunya ketika mendapat juara.

"Aku kan tiga hari lalu ikut lomba baris se kota. Terus aku jadi komandan pletonnya Ma, katanya suara aku bagus pas siapin barisan. Terus menang, sama Pak Guru suruh bawa pulang pialanya!"

Arkan bercerita antusias. Tak lama adiknya menyusul dari belakang, membawa sebuah pigura dan menghampiri kami berdua. Wajah Arsen yang kurang ekspresi itu sedang tersenyum, aku bisa bedakan walau ia sering membodohiku dengan raut muka datarnya.

"Arsen dapat juga?"

"Bukan Ma, ini punya Arkan. Piagam, dari sekolah. Arkannya keburu pulang, pas Bu Guru panggil dia nggak ada, jadi Arsen yang ambil. Katanya bisa buat masuk SMP gitu Ma."

Aku mengambil piagam itu. Ada foto seorang anak lelaki di ujung barisan. Walau tidak melihat secara langsung, aku bisa mendengar suara lantangnya memerintah sepasukan itu untuk mengudarakan semangatnya menyambut hari kemerdekaan.

"Ma, besok kalau udah gede mau jadi paskibra, boleh nggak?"

Arkan dengan polosnya bertanya. Anak kelas enam itu menatapku penuh, ada binar di sana. Jujur, terharu sekali aku punya dirinya. Zaman sekarang jarang sekali anak-anak mau dibebani dengan ikut acara begini. Apalagi anak lelaki. Arkan masih sekolah dasar, tapi mimpinya untuk membanggakan Indonesia sungguh tinggi.

"Memangnya kamu tahu paskibra itu apa?"

Arkan mengangguk antusias, "tahu! Yang baris di sana itu kan? Ketemu Bapak Presiden. Wih keren!" Arkan menunjuk televisi kami yang sedang menunjukkan upacara pengibaran bendera di istana negara. Ini tujuh belas agustus.

"Kalau mau jadi paskibra harus dengerin pas pelajaran PKN. Kamu malah mainan anak ayam," Arsen mengomentari. Arkan menatapnya sinis dan menabok lengan Arsen pelan. Anakku satunya itu meringis. "Ih main tabok! Nggak boleh tahu!"

"Bang, nggak boleh nakal sama Adeknya."

Aku menasihati, Arsen masih terlihat kesal. Lalu aku menghampiri anak itu dan merangkul bahunya. Arkan menarik tanganku untuk menjauhi Arsen. "Jangan sama dia Ma, tukang ngadu."

"Ma, Arkan pas pelajaran suka main bola di lapangan! Uang jajan dia buat beli ayam warna-warni, terus—"

Arkan menutup mulut Arsen tiba-tiba. Lalu menyeret adiknya itu ke kamar. Aku ketawa, dua anakku yang terlihat semakin tinggi itu masih seperti anak TK kelakukannya. Menggemaskan, aku suka.

Aku melanjutkan kegiatan memasak, tak lama setelahnya Andro pulang. Dia menyapaku sekilas, mungkin paham bahwa istri penganggurannya ini sedang berbau bumbu dapur, ia tak mendekat. Dia bermain dengan Arkan dan Arsen.

Ah, pantas anak-anakku terlihat seperti murid taman kanak-kanak. Ayahnya saja masih SD.

Andro mengejutkan dua anakku, memiting leher mereka berdua hingga mereka berteriak histeris. Arkan lebih heboh karena dia tidak tahan geli. Andro terus menggoda mereka berdua sampai Arkan duduk bersimpuh lemas. Andro keterlaluan.

"Yaampun kasihan anak Mama," aku menghampiri anak lelaki berkaus polos hitam itu. "Berdiri Ar, lantainya kotor. Mama belum ngepel."

"Papa tuh! Udah tahu anaknya gampang geli, pake digelitikin sampe mau pingsan!" Arkan memprotes. Andro dan Arsen bertos ria.

"Nanti Mama gebuk mereka pakai raket nyamuk. Udah, berdiri. Duduk di ruang makan, masakannya matang."

"Mama nggak masak nasi goreng kuah lagi kan?"

Arkan kurang ajar. Aku pernah menumpahkan air di nasi goreng yang aku buat, belum sempat aku memasak lagi, dua anak itu sudah pulang dari sekolah. Mereka menertawaiku seharian penuh. Sejak saat itu aku mogok masak dan membelikan mereka makanan dari luar.

"Mulutnya siniin biar Mama kuncir," aku menaikkan alis, Arkan terkekeh dan mengangkat dua jarinya. "Didikan Papa pasti kalau julit sama Mama."

"Ma, nggak boleh bilang begitu," Arkan membalas cepat. Andro mengangguk antusias. Lalu rautnya berubah seketika. "Mama jujur banget. Emang bener, Papa yang ajarin."

Andro menatap anaknya itu datar. Aku menghidangkan beberapa masakan yang aku buat. Kurasa berhasil, mereka bertiga makan banyak. Hanya tersisa sedikit.

Aku ingin pamer.

Aku bisa memasak setidaknya untuk keluarga tidak jelasku ini.

Aku juga ingin pamer.

Bahwa anakku, Arkan Devan Al-Khanza namanya. Yang sedari tadi setelah mencuci piring makanannya terus menatap televisi. Tidak mau ketinggalan berita apapun tentang pengibaran bendera. Bahkan saat sore haripun, dia setia menatap layar besar itu. Ketika bendera diturunkan. Antusiasmenya tidak bisa kujelaskan. Entah dari segi apa anak dua belas tahun itu mencintai negaranya segenap jiwa raga. Aku bangga.

Suatu saat Arkan akan di sana. Aku yakin sekali.

Firasat ibu tidak pernah salah 'kan?

[]

Iye gak salah, melenceng doang.

Btw, bonus 17 Agustus walau updatenya 18 Agustus. Hehe.

Dikit aja mamen, ngantok berat soalnya. Hehehhee.

Jangan lupa makan, jaga kesehatan.

Salam damai dari Julpa!





Barananta [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang