17th: Lidah Kucing

14 2 0
                                    

___

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

___

Malam beranjak. Lampu minyak pun disulut. Larut malam tidak selalu menjadi waktu untuk memejamkan mata. Terkadang, sekali pun mata tidak dapat melihat sebaik di siang hari, pekerjaan kertas tetap dapat berlangsung. Untuk sang Elf muda, hal yang demikian bukannya jarang. Dia sekali pun yang sering kali ditatap sebagai sosok penuh nafsu duniawi, tidak lepas dari tanggungjawabnya. Bukan tanpa alasan dirinya bisa berada di puncak kota.

Arkaha'an Heershad, pemilik ladang anggur di kota kecil Hi'irdab. Mewarisi dan meneruskan kemakmuran ladang anggur yang telah lama dikelola keluarganya, Heershad merupakan seorang Elf dengan naluri bisnis yang kuat. Sama seperti ayahnya. Hal itu membuat dirinya disegani dan dihormati di saat yang bersamaan sebagai seorang bangsawan. Sayangnya, ada sebagian dari dirinya yang menyimpang.

Sunyi malam pun diusik dengan ketukan di balik pintu. "Siapa?" Sahut Heershad tanpa menoleh.

Pintu pun terbuka dengan sendirinya, menghadirkan sosok seorang Khii'dar dengan sebelah mata tergores vertikal.

Heershad pun akhirnya menoleh, hanya untuk mendapati salah satu bawahannya datang membawa cangkir kayu. "Oh, kamu rupanya."

"Anda terdengar seperti kecewa melihat saya. Memang siapa yang anda harapkan?" Dengan kesan bercanda, Radeem berkata demikian seraya meletakkan cangkir berisi air bersih di dekat meja tuannya.

"Di mana Rubina?" Balik Heershad bertanya.

"Si ogre betina? Entahlah, bukannya dia sudah cukup capek hari ini? Malam juga sudah cukup larut, jadi biarkan dirinya istirahat."

"Panggil dia ke sini setelah kamu pergi."

Perintah itu memecah atmosfer. Untuk sekilas, otot alis si kucing turun. Sunyi sesaat pun tak terhindari, sebagai hasil dari Radeem yang kecewa sekejap itu.

Helaan kecil pun kucing itu buang, sebelum akhirnya mengindahkan seru sang tuan. "Dipahami. Tapi, sebelum itu boleh saya bertanya?"

Heershad hanya mendongakkan kepalanya sekali sebagai respon. Fokusnya tetap tertuju pada lembaran di atas meja.

"Anninsi, si Khii'dar betina. Bisa kah setidaknya anda lepaskan?"

Berharap dirinya mendapat respon. Satu dua detik waktu sunyi ia lewati. Ketukan waktu tidak menyempit sama sekali. Di saat yang bersamaan, tidak sedikit pun bunyi lepas dari bibir Elf itu.

Tinju menguat. Ingin dirinya melampiaskan yang dipendam. Namun, melawan pun tidak sanggup. Sehingga dirinya pun hanya bisa pasrah. Seperti mereka yang berada di kamar budak.

"Saya akan memanggil Rubina." Langkah berat pun menggema di seluruh ruangan.

Si Elf paham seutuhnya, tapi tetap bisu atas nama keegoisan pribadi. Pintu pun tertutup menyisakan atmosfer berat di antara keduanya.

***

Tanpa disangka, tumpukan jerami dalam kamar kecil lebih dari cukup untuk membuatnya tidur terlelap. Matahari telah lama menghilang dari tahtanya dan redup purnama pun menemani sejak itu. Udara dingin tidak begitu mengusik berkat perapian di sisi dinding ruang bawah tanah. Kini hanya percikan kecil yang tersisa. Lentera pun telah dipadamkan semuanya. Semakin larut hangat itu akan pudar. Namun, saat itu pula mereka telah terlelap dalam kantuk. Tidak terkecuali dirinya.

Land of PromisingWhere stories live. Discover now