5th: Sepotong hari yang tidak penting

99 24 26
                                    

Tahun ke-21 Raja Pietro, Bulan Tanam, Kholes
___

Kemarin agaknya terasa begitu heboh untuk satu hari. Hampir mati sebagai budak perang, terjebak di tengah-tengah serangan balasan umat manusia, nekat membunuh orang tertinggi di salah satu wilayah kekuasaan Elf, dan kabur dari semua itu menggunakan kuda curian. Benar-benar satu hari yang akan tercatat cukup lama di dalam kepala pria beruban itu.

Banyak detail lain yang cukup membekas, tapi kemungkinan besarnya hanya itu yang akan Louise ceritakan di masa tua kepada anak-anak nakal di desa antah brantah.

Harapannya untuk bertemu sanak saudara sudah lama pupus. Tidak ada yang tersisa sejak ia pertama kali dibawa sebagai tahanan. Sehingga, hanya masa depan yang bisa dia harapkan. Entah membangun keluarga baru atau sekadar bersahabat dengan orang-orang di kedai minum.

Berkeluarga pun agaknya membuat pikiran Louise tersandung pada satu hal. Si rambut hitam berwajah bulat nan manis yang tiba-tiba muncul di hadapannya kemarin jelas menyelipkan sesuatu yang berkolerasi dengan itu. Namun, jawaban pasti belum sama sekali Louise berikan untuk beberapa alasan.

Setidaknya, sampai semua sudah jelas dan sekian pertengkaran telah mereka lalui. Mungkin kesempatan untuk jawaban itu hadir akan datang. Yang pasti, bukan di pagi ini.

"Berat..." Keluh Louise seraya perlahan memasukan jiwa kembali ke raga selepas semalaman rehat.

Yang ia temukan begitu kedua matanya terbuka, selain tubuhnya yang terbaring di atas tanah berumput, adalah seorang gadis yang menjadikan perutnya sebagai bantal.

Wajahnya terlihat begitu nyenyak dengan air liur menetes dari pojok bibirnya. Sebuah rupa yang tidak patut dilihat dari kompleksitas cantik seperti dia.

"Oi!" Seru Louise tanpa meninggikan suara.

Azalia mengecap bibirnya yang basah karena liurnya sendiri, mengusap wajahnya sedikit, lalu perlahan-lahan membuka mata dan menggeser pandang ke arah Louise.

Mata mereka bertemu, menciptakan atmosfer yang aneh di antara mereka.

"Pagi..." Gumam Azalia dengan suara yang amat kecil dan tersaring kedua tangannya yang menutupi mulut.

Louise pun langsung menarik diri dan membiarkan wanita itu menghantam belakang kepalanya ke tanah.

"Sakit... Sakit... Astaga, kamu buruk sekali memperlakukan wanita." Keluh Azalia yang agaknya masih separuh mengantuk.

"Astaga, sebagai wanita kamu tidak tahu batasan ya?" Balas Louise seraya berdiri dan merapikan pakaian compang campingnya itu dari rumput.

"Aku kira kemarin kita sudah sepakat. Jadi tidak apa kan? Jika istrimu menjadikan perut suaminya sebagai bantal."

Louise memutar bola matanya dengan malas. "Aku tidak ingat pernah setuju akan hal itu dan melamarmu. Lagi pula ada sadel kuda. Kenapa tidak digunakan?"

"Perutmu hangat, keras, dan nyaman. Lebih baik dari sadel kuda." Azalia pun mengambil posisi duduk dan meregangkan keduanya tangannya seraya membalas demikian.

"Pantatku yang malang." Ujar Louise seraya terkekeh, lalu membasuh wajahnya di sungai tidak jauh dari mereka.

Di tengah-tengah perjalanan kemarin, mereka memutuskan untuk berkemah seadanya di pinggir jalan menuju pemukiman terdekat.

Pematang sungai yang ditumbuhi rerumputan hijau nan empuk pun menjadi pilihan. Kemudian dengan beberapa batang ranting dan ikan yang ditangkap dengan tangan kosong, malam mereka lewati dengan perut setengah kenyang dan kulit gatal karena nyamuk.

Land of PromisingWhere stories live. Discover now